BANJIR KARENA IBLIS YANG MENGGUNDULI HUTAN

T. Muhammad Jafar Suaiman 

Tulisan ini lahir dalam gelap gulita, ketika hitungan waktu sudah 27 jam mati lampu, tanpa ada kejelasan kapan akan menyala kembali. Menikmati kegelapan ini, kadang sempat terfikir juga apakah inilah kehidupan manusia yang sebenarnya, hidup tanpa lampu dan hidup tanpa gawai (gadget), hidup manusia yang paling asli adalah tanpa lampu dan tanpa gadget. Tetapi, kegelapan atau hidup dalam gelap tidak pernah diinginkan manusia, manusia pasti mencari cahaya atau menunggu datangnya cahaya yang bisa menerangi mereka. Seorang anak manusia yang hidup saat ini, ketika dirumahnya mati lampu tanpa ada lampu emergency misalnya, atau tanpa genset, maka dia pasti merindukan pagi, dia pasti menunggu pagi, dia ingin pagi segera hadir karena ketika pagi ada matahari yang menyinari, ada matahari yang memberikan cahaya dan ketika pagi kegelapan akan hilang, berganti dengan terang. 

Kegelapan tanpa cahaya sama sekali adalah kehidupan manusia tanpa Tuhan, meraba-raba, tidak tahu mau kemana, tidak jelas tujuannya apa, hanya duduk dengan pikiran kosong, hanya menunggu tanpa kepastian. Manusia yang hidup tanpa Tuhan adalah manusia tanpa cahaya, dia selalu menjalani hidup dalam kegelapan dan manusia yang hidup bersama Tuhan adalah manusia yang selalu hidup dalam cahaya yang tidak pernah padam dan menyala selamanya. 

Ada sebuah hikmah yang sangat berharga tentang kehidupan manusia bersama Tuhan : “Ketika Tuhan menciptakan Ikan, maka Tuhan berbicara kepada laut, ketika Tuhan ingin menciptakan pohon, maka Tuhan berbicara kepada tanah, tetapi ketika Tuhan ingin menciptakan manusia maka Dia mengambil sebagian dari ruhNya untuk manusia dan kemudian menciptakan manusia." Ketika manusia mengeluarkan ikan dari lautan, maka ikan akan mati, ketika manusia mencabut pohon dari tanah, maka pohon akan mati, demikian juga ketika manusia tercerabut dari Tuhan, ketika manusia keluar dari Tuhan, maka manusia akan mati, tidak berarti lagi. Lautan tanpa ikan tetaplah menjadi lautan, tanah tanpa pohon tetaplah tanah, tetapi manusia tanpa Tuhan maka bukanlah apa-apa, karena hidup bersama Tuhan adalah tujuan manusia yang sebenarnya yaitu selalu hidup dalam hadhiratNya. 

Source : Meta AI

Tuhan yang dimaksudkan disini, bukanlah Tuhan dalam dalam nama, atau Tuhan dalam tulisan yang dianggap manusia telah bersamanya dalam shalat, dalam zikir, dalam puasa, dalam umrah, dalam haji, tetapi Tuhan yang sebenarnya Tuhan, bukan Tuhan dalam sebutan, dalam nama atau dalam perkataan yang selalu disampaikan penceramah, pengkhutbah berganti-gantian pagi siang dan malam, tanpa pernah bertemu dan berjumpa dengan Tuhan yang sebenarnya. Tentu sangat berbeda antara Tuhan yang sebenarnya dengan Tuhan yang diciptakan dan kemudian diceritakan oleh para agamawan sesuai dengan definisi yang mereka buat sendiri, mereka tafsirkan sendiri, sesuai dengan ego, nafsu dan kepentingan mereka sendiri, mereka menceritakan tentang Tuhan agar supaya mereka ditakuti, dihormati dan didengar perkataanya sehingga mereka menjadi seperti Tuhan bagi manusia- manusia lainnya. 

Mereka juga sangat suka sekali menyimpulkan dan dengan sombongnya menyampaikan kepada umat bahwa Tuhan dalam Islam adalah sosok yang sangat kejam dan suka menghukum, mereka memperbesar Tuhan yang kejam dan mengecilkan Tuhan yang Maha Rahman, Maha Rahim Tuhan yang begitu Maha Besar dan luas kasih sayangnya kepada makhluk hidup.  Mereka menyatakan bahwa banjir yang terjadi itu karena Tuhan murka, alampun murka, semua terjadi karena manusia tidak menegakkan syariat dengan benar, bencana terjadi karena manusia meninggalkan shalat, banjir bandang terjadi karena perempuan-perempuan telah mengumbar aurat mereka. Sesekali kita balikkan pernyataan itu, bahwa bencana alam, banjir, banjir bandang, gempa terjadi bukan karena manusia tidak menegakkan syariat, bukan karena manusia banyak yang tidak shalat, tetapi karena banyak sekali yang menjual-jual ayat Tuhan dengan harga yang sangat murah sekali, menjual ayat Tuhan untuk kepentingan mereka sendiri sehingga Tuhan murka, alampun murka, sehingga karena ulah orang – orang yang suka menjual ayat Tuhan ini, semua manusia harus menanggung akibatnya. 

Pernyataan – pernyataan bahwa banjir terjadi karena manusia tidak menegakkan syariat, karena manusia meninggalkan shalat sangat melukai perasaan dan menyakitkan hati para korban yang selalu menegakkan shalat, menyakitkan hati korban yang keluarganya meninggal, para korban yang keluarganya belum ditemukan, para korban yang rumahnya masih terendam lumpur setinggi rumah. Pernyataan itu juga pernyataan yang sangat tidak Islami, sangat tidak syar’i, pernyataan yang sangat tidak manusiawi bagi para korban yang sawahnya tidak bisa dipanen lagi, yang gabahnya ikut hanyut dan terendam. Pernyataan – pernyataan itu disampaikan oleh mereka persis ketika didepan mata dan hidung mereka kayu – kayu gelondongan, potongan – potongan kayu ikut hanyut, gajah juga ikut hanyut, harimau ikut berenang dalam banjir menandakan bahwa jutaan hektar hutan telah digunduli, pohon – pohon ditebang seenaknya saja, ekosistem alam telah dirusak. 

Untuk jutaan hektar hutan yang telah digunduli, pohon – pohon yang ditebang seenak hati mereka ini dan ekosistem alam yang telah dirusak, para agamawan itu diam seribu bahasa, diam seperti patung-patung yang dibuat oleh ayah Nabi Ibrahim, ketika sangat jelas secara dalil agama, secara ilmiah, secara akal bahwa bencara terjadi karena sebab ini, lalu mereka masih tega berkata bahwa bencana terjadi karena manusia tidak menegakkan syariat, karena manusia meninggalkan shalat. Tuhan telah menyatakan dengan tegas bahwa “kerusakan didarat dan dilaut itu karena ulah tangan manusia sendiri”, ulah tangan manusia yang menggunduli hutan, ulah tangan manusia yang menumbangkan pohon – pohon penyangga kehidupan, ulah tangan manusia yang mengeruk bumi tanpa batas, lalu dimana hubungannya bencana terjadi karena manusia meninggalkan shalat, padahal para penggundul hutan, para pemotong kayu, para pengeruk bumi itu sebagain dari mereka ada juga yang shalatnya rajin, sebagian mereka mungkin ada juga yang rajin berangkat umrah berulang – ulang kali. 

Belum lagi ketika mereka mengatakan bahwa bencana terjadi karena konser musik, karena manusia telah lalai dengan konser musik dan tidak mengindahkan lagi ajaran agama, untung saja kemarin konser musik tidak jadi terlaksana, kalau terlaksana, maka konser musik masuk list pertama daftar yang disalahkan atas bencana banjir. Untung juga para penikmat konser musik ini orang – orang yang baik akhlaknya, karena kalau tidak bisa saja mereka balikkan pernyataan bahwa musibah banjir terjadi justru karena tidak dibolehkannya konser musik, tetapi para penikmat konser musik ini adalah orang – orang cerdas dan berpengetahuan mendalam, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan non agama, mereka tahu dengan makruf bahwa bencana banjir terjadi bukan karena konser musik, bukan karena manusia tidak menegakkan agama, tetapi karena iblis yang menggunduli hutan, iblis yang bukan makhluk ghaib, tetapi iblis yang terlihat dengan jelas dan dalam rupa yang juga sangat jelas.

Narasi - narasi seperti ini, yang selalu menyalahkan rakyat Aceh dengan perkara moral dan akhlak oleh para agamawan, sudah saatnya dihilangkan dari Bumi Aceh, sudah saatnya dilenyapkan, dibenamkan dibawah lumpur paling dalam, sudah saatnya dikubur dalam lapisan perut bumi Aceh yang paling bawah, sudah saatnya dibakar menjadi abu tanpa bekas dibakar bersama kayu - kayu yang ditebang dari hutan - hutan Aceh, Sudah cukup rakyat Aceh di bodoh - bodohi oleh narasi yang merusak kecerdasan dan merusak kemajuan peradaban manusia di Aceh,.  

Kita sepakat pada satu hal, bahwa shalat itu penting ditegakkan, tetapi kita juga bisa lihat apa kurangnya ditempat kita shalat ditegakkan, ditambah qiyamul lail, shalat sunnah dan lainnya, tetapi korupsi dan penyalah gunaan wewenang kekuasaan juga makin marak terjadi termasuk penyalah gunaan wewenang untuk izin – izin perambahan hutan, penebangan pohon dan juga maraknya aksi tutup mata pada kejahatan – kejahatan terhadap alam, ini semua terjadi dalam kondisi shalat yang ditegakkan. Berarti yang bermasalah justru dimanusianya yang menegakkan shalat, para pemimpin sudah menegakkan shalat, rakyat banyak juga sudah menegakkan shalat, tetapi banjir setiap tahun terjadi, lalu kita pantas bertanya : “Ada apa ?”, berarti masalahnya bukan pada manusia yang meninggalka shalat tetapi pada manusia yang shalat maupun tidak shalat yang tidak punya adab dan tidak punya akhlak kepada alam. 

Jangan Terlalu Terpesona Pada Tampilan Luar 

Merujuk kepada kisah – kisah umat terdahulu yang sering dijadikan dalil untuk membenarkan bahwa bencana alam adalah azab yang diturunkan Tuhan karena manusia meninggalkan ibadah, kalau kita lihat dengan seksama, azab yang diturunkan Tuhan kepada kaum ‘Ad, kaum Tsamut, kaum Sabaa, itu karena mereka ingkar kepada Nabi utusan Allah, bukan karena mereka meninggalkan ibadah, meninggalkan agama seperti yang didalilkan hari ini. Tentu jelas sekali bedanya, hakikatnya Tuhan murka karena kekasihNya yaitu para Nabi yang diutusNya diingkari oleh manusia, sehingga mereka harus diberi pelajaran. Murka Tuhan turun karena ada sosok yang diingkari oleh manusia, kapasitas dan otoritas sosok yang diingkari ini jelas sekali, sosok yang punya wewenang dan otoritas spiritual tertinggi yang  mewakili Tuhan dibumi untuk menyeru manusia dan ketika manusia mengingkari utusanya lansung ini maka Tuhanpun murka, jadi bukan karena manusia meninggalkan ibadah dan tidak menegakkan agama dan memangnya siapa manusia yang suka umum yag meninggalkan ibadah itu, kekasih Tuhan bukan, utusan Tuhan juga bukan, jadi jangan kege eran dan sok percaya diri. 

Dulu, Tuhan telah memesankan kepada Nabi Nuh untuk menyiapkan perahu, karena banjir besar akan datang, pesannya kepada manusia adalah ada jalan keselamatan, ada jalan keluar dari setiap bencana yang akan terjadi. Lamanya waktu yang dihabiskan nabi Nuh untuk mempersiapkan perahu untuk keselamatan umatnya adalah waktu bagi manusia sekarang untuk mempersiapkan segalanya jauh – jauh hari untuk menghadapi bencana yang saat ini sudah bisa diprediksi kapan terjadi, jangan terlalu lalai dengan debat agama sehingga lalai mempersiapkan semua hal menghadapi bencana, karena ketika bencana datang manusia harus mempersiapkan cara menghadapi bencana tersebut untuk keselamatannya. 

Perahu nabi nuh untuk keselamatan manusia saat ini adalah mempersiapkan bendungan, menjaga hutan, menjaga ekosistem alam, melakukan taubat ekologis massal dan waktu yang dihabiskan nabi Nuh mempersiapkan perahu untuk saat ini adalah mitigasi bencana, waktu bagi manusia untuk menanami kembali hutan-hutan yang sudah gundul, waktu bagi manusia untuk memperbaiki semua habitat dan ekosistem alam, waktu bagi manusia untuk menjaga dengan sebaiknya 5 juta hektar hutan lindung Aceh. Jika bencana banjir di Aceh kali ini tidak bisa menjadi titik perubahan revolusioner untuk menjaga alam kedepan maka sama saja dengan membiarkan kepunahan manusia dimasa depan. Dengan kondisi seperti hari ini, bukan saatnya lagi bermain – main, artinya jangan nanti setelah semua bencana terbenahi, satu bulan, dua bulan semua sibuk bicara solusi dan pencegahan bencana banjir kedepan, lalu tiba – tiba lupa dan tidak ingat lagi bahwa musibah besar telah terjadi, lalu prakteknya kembali seperti semula lagi, jangan lagi seperti ini dan jangan lagi bermain – main dengan nyawa manusia dan mengangap enteng nyawa manusia. 

Karena itu janganlah terlalu kagum dan ektase berlebihan kepada para pemimpin, Gubernur, Bupati, Walikota yang turun kelokasi banjir pagi, siag dan malam, berbasah – basah dalam hujan, terkena lumpur, karena itu semua memang sudah tugas, kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai pemimpin, bahkan mereka harus melakukan lebih dari itu dan pemimpin yang tidak turun kelokasi ketika bencana terjadi, itu adalah pemimpin yang tidak ada akhlak, tidak ada adab, pemimpin yang kurang akalnya, karena seperti nasihat Tan Malaka : “pemimpin yang tidak hidup seperti rakyat, pemimpin yang tidak merasakan apa yang dirasakan rakyat adalah pemimpin yang tidak pantas diikuti” 

Jika ingin kagum dan terpesona dengan pemimpin di Aceh, maka kagum dan terpesona lah pada pemimpin yang bisa bekerja dengan cepat dan tanpa kenal lelah mengatasi bencana, bisa dengan cepat dengan segala cara mengirim logistic kepada warga yang terdampak bencana, pemimpin yang menggelontorkan dana tanggap darurat bencana lebih besar dari pada rehab rumah – rumah dinas para pejabat. 

Kagumlah pada pemimpin yang bisa menjaga alam Aceh dan tidak merusak alam Aceh, bisa memanfaatkan kekayaan alam Aceh untuk kesejahteraan rakyat, bisa menciptakan kemandirian listrik bagi Aceh, kagumlah kepada pemimpin yang bisa menciptakan kedaulatan pangan bagi Aceh tanpa perlu bergantung pada tetangga, kagumlah pada pemimpin yang didaaerahnya tidak ada lagi rakyat yang tinggal dirumah yang tidak layak huni, terpesonalah pada pemimpin yang rakyatnya tidak ada lagi yang kelaparan, kagumlah pada pemimpin yang bisa bergerak dengan begitu cepat ketika rakyat dalam keadaan darurat, terpesonalah pada para pemimpin yang bisa memerintah dengan memberikan banyak pilihan-pilihan hidup kepada rakyatnya, rakyatnya bebas mau memilih bank konvensional atau Bank Syariah, rakyatnya bebas memilih mau ke bioskop atau dirumah saja, rakyat bebas memilih mau nonton konser atau dirumah saja, selain daripada ini, maka tidak ada yang perlu dikagumi. 


Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :