Imajinasi Politik Soekarno

Soekarno (Bung Karno) dilahirkan dari rahim seorang gadis Bali keturunan Kasta Brahmana yang bernama Ida ayu Nyoman Rai Sarimben. Bapaknya, Raden Soekemi Sosrodihardjo adalah seorang Jawa Timur dari keluarga yang amat disegani. Meskipun berasal dari dua adat yang berbeda, namun kala itu Raden Soekemi berhasil mendobrak adat yang selama ini masih dipegang teguh oleh rakyat Bali dan berhasil menikahi Idayu Nyoman Rai bahkan dengan menggunakan cara Islam di Bali. Anak pertama mereka, yaitu kakaknya Bung Karno adalah seorang perempuan bernama Soekarmini. Bung Karno lahir tidak lama setelah bapaknya dipindah tugaskan dari guru di Bali menjadi guru di Surabaya. Pada hari Kamis Pon tanggal 18 Sapar tahun 1831 windu sanjaya, wuku “wayang” atau bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1901, di Lawang Seketeng, Bung Karno dilahirkan dengan nama Koesno Sosro Sukarno. 

Soekarno, Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, Presiden Pertama Indonesia,
Image from Wikipedia
Semasa kecil Soekarno sudah dididik ketat oleh ayahnya, dan dari ayahnya pula pemikiran-pemikiran Barat mulai masuk ke dalam pemikiran Soekarno. Hingga masa dimana dia masuk ke lingkungan sekolah formal yaituSekolah Bumiputera dimana murid-muridnya sama yakni berkulit coklat dan berbicara dalam bahasa Jawa. Setelah naik kelas lima Soekarno dipindahkan oleh orangtuanya ke sekolahrendahan Belanda di Majakerta yakni “Europes Logere School” (E.L.S). Disini Soekarno sering mengalami perlakuan yang menyakitkan hati dan dianggap rendah oleh anak-anak Belanda. Dampak dari pengalaman pahit yang dialaminya selama sekolah di E.L.S ini menjadi cikal-bakal kebencian Soekarno terhadap orang-orang Belanda yang kemudian makin berkembang mempengaruhi jiwa dan alam pikirannya untuk membenci penjajah Belanda. Bagi Soekarno, rasa nista dan penghinaan itu terasa paling mendalam dan tekad untuk menutut pengakuan atas rasa bangsa dan memulihkan harga diri sendiri serta rakyatnya menjadi tenaga pendorong bagi tindakan-tindakannya.

Dilihat dari latar belakang keluarga Bung Karno, sudah jelas jika beliau bukanlah terlahir dari keluarga santri, melainkan Islam abangan bahkan ibunya saja adalah seorangHindu. Jadi sudah jelas jika ajaran Islam yang ada pada diri beliau bukanlah berasal dari keduaorang tuanya. Ajaran Islam mulai beliau ketahui saat melanjutkan sekolahnya di HBS Surabaya, soekarno mondok di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, seorang politikus tokoh nasional dan pemimpin terkemuka dimasa itu.Tjokroaminoto sendiri walaupun keturunan dari Yogyakarta Hadiningrat, Kyai Hasan Bestari, tidak pula mendapatkan pendidikan agama dari pesantren ataupun madrasah, melainkan hanya dari sekolah umum. Sehingga masa remaja Bung Karno langsung dikenalkan pada high Islam , tidak melalui low Islam terlebih dahulu.

Keberadaan Bung Karno di pondok H.O.S. Tjokroaminoto ternyata membawa keuntungan juga. Disana Bung Karno dapat kontak dan berkenalan dengan tokoh-tokoh besar,yang salah satunya adalah K.H. Ahmad Dahlan, seorang pendiri organisasi pembaharuan Islam di Jawa, Muhammadiyah. K.H.Ahmad Dahlan saat itu sering datang ke Surabaya untuk bertabligh mengenai agama Islam. Berkat perkenalan ini, Bung Karno dapat belajar banyak tentang islam. Pendidikan Bung Karno yang setara dengan SMA itu pun telah berhasil diselesaikan pada tahun 1921, dan islam telah menjadi bagian dari kehidupannya. Seperti yang diucapkanSoekarno :
“ .... dengan demikian semakin kuatlah keyakinan saya bahwa ada hubungan yang erat antara pembangunan bangsa tanah air dan masyarakat dengan pembangunan agama” (Soekarno. 1962:17)

Dengan didapatkannya pengalaman belajar Islam selama di Surabaya, ditambah dengan kemampuan intelektual, pada masa selanjutnya Bung Karno merasa ingin terus mempelajari agama Islam seperti yang beliau lakukan saat berada dalam penjara di Bandung. Meskipun berada dalam tempat yang tidak layak, hal ini tidak menyurutkan semangat Bung Karno, bahkan beliau mengatakan jika “penjara merupakan tempat dimana ia menemukan Tuhan”.Dalam penjara di Sukamiskin, Bandung tersebut Bung Karno banyak mempelajari Al-Qur’an dan mencari keterangannya dalam hadist nabi. Beliau juga mempelajari buku-buku karangan Lothrop Stoddard, yang menceritakan bagaimana nasionalisme Islam bangkit di Turki pada tahun 1908 atas anjuran Al-Afghani, terutama mengenai bangkitnya Islam melawan bangsa asing. Juga buku karangan Syed Ameer Ali, mengenai semangat Islam.

Pada tahun 1933, Bung Karno ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Endeh, Flores. Dalam pembuangannya tersebut, beliau melakukan surat menyurat dengan A.H. Mansyur, ketua perkumpulan Muhammadiyah. Isi surat-surat tersebut diantaranya berisi permintaan Bung Karno untuk dikirimi buku penuntun shalat, disamping buku-buku lainnya tentang Islam. Sehingga pada tahun 1934, yaitu saat usia Bung Karno 29 tahun, beliau sudah mulai melaksanakan shalat.

Bahkan, dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” (1965), ia tidak hanya mendefinisikan nasionalisme secara umum seperti dipahami oleh Renan, Otto dan Ki Bagoes Hadikusumo atau Munandar. Dalam salah satu ‘karya monumentalnya’ itu, ia bahkan mengemukakan tentang nasionalime islam. “Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu, ia masih menjadi satu bahagian daripada rakyat Islam. Di mana-mana, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Inilah nasionalisme Islam,” tulisnya. 



Pemikiran Soekarno Tentang Nasionalisme

Nasionalisme menurut Soekarno merupakan kekuatan bagi bangsa-¬bangsa yang terjajah yang kelak akan membuka masa gemilang bagi bangsa tersebut . Bagi Soekarno Kecintaan kepada bangsa dan tanah air merupakan alat yang utama bagi perjuangan suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan. Disini jelas dapat dikatakan Nasionalisme telah memegang peranan penting dan bersifat positif dalam menopang tumbuhnya persatuan dan kesatuan serta nilai-nilai demokratisasi yang pada gilirannya akan mampu melaksanakan pembangunan nasional.

Soekarno sangat anti terhadap kolonialisme dan imperialisme. Menurutnya Penindasan bukan hanya datang dari para kapitalis asing saja, tetapi juga dari para kapitalis bangsa sendiri, dari kesewenang-wenangan kaum borjuis lokal. Hanya nasionalisme yang bersifat Marhaenis-lah yang bisa menjalankan tugas sejarah guna menghilangkan segala borjuisme dan kapitalisme. Nasionalisme pada dasarnya mengandung prinsip kemanusiaan, cinta tanah air yang bersendikan pengetahuan serta tidak chauvinisme . Lebih lanjut, Marhaenisme dikembangkan sebagai alternatif terhadap konsep proletar Karl Marx. Konsep ini lahir ketika Soekarno baru berumur 20 tahun. Pada waktu itu, ia sedang enggan pergi kuliah dan bersepeda memutari Bandung Selatan, dan bertemu dengan seorang petani kecil bernasib malang bernama Marhaen. Sejak itulah, ia menamakan seluruh rakyat Indonesia dengan nama Marhaen.

Dalam menjelaskan marhaenisme tidak pernah keluar dari benang merah yang telah digariskan sejak tahun 1927 tentang marhaenisme, diantaranya :

Marhaen adalah kaum melarat Indonesia yang terdiri dari buruh, tani, pengusaha kecil, pegawai kecil, tukang, kusir, dan kaum kecil lainnya. Soekarno sering menyebutkan marhaen adalah rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh imperialisme. Marhaen Indonesia ada yang berdomisili di pantai, di gunung, di dataran rendah, di kota, di desa dan dimana saja. Marhaen itu ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan ada juga yang menganut animisme. Marhaen Indonesia ada yang kyai, pastor, pendeta, dll.

Kaum marhaen sesuai dengan kodratnya berupaya melepaskan belenggu kemiskinan dan mengharapkan terjadinya perbaikan nasib. Marhaenisme adalah ideologi yang bertujuan menghilangkan penindasan, penghisapan, pemerasan, penganiayaan dan berupaya mencapai serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, melalui kemerdekaan nasional, melalui demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Terhapusnya kemiskinan dan terwujudnya masyarakat adil dan makmur hanya bisa dicapai dengan kemerdekaan nasional, dimana kemerdekaan itu hanyalah jembatan emas. Di seberang jembatan emas itu terbuka dua jalan. Satu jalan menuju masyarakat yang adil dan makmur, dan jalan satu lagi menuju masyarakat celaka dan binasa. 

Soekarno, Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, Presiden Pertama Indonesia,
Image from Wikipedia
Soekarno mengartikan Marhaenisme sebagai suatu ideologi kerakyatan yang mencitacitakan terbentuknya masyarakat yang sejahtera secara merata. Asas Marhaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, yaitu nasionalisme dengan kedua kakinya berdiri di atas masyarakat. Sosio-nasionalisme menolak setiap tindakan borjuisme yang menjadi sebab kepincangan masyarakat. Dengan kata lain, sosionasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi suatu nasionalisme yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi timbul karena sosionasionalisme. Sosiodemokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sosionasionalisme adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan atau perasaan cinta kepada bangsa yang dijiwai oleh perasaan cinta kepada sesama. 

Sementara sosiodemokrasi adalah demokrasi yang menuju kepada kesejahteraan sosial, kesejahteraan masyarakat, atau kesejahteraan seluruh bangsa. Soekarno juga yakin, bahwa untuk menentang kolonialisme dan imperialisme serta mewujudkan persatuan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan adalah dengan menyatukan tiga aliran paham besar yang ada di masyarakat Indonesia, yaitu nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Ketiga gelombang besar ini bisa bersatu untuk melawan kolonialisme . Nasionalisme menekankan pentingnya batasbatas dan kepentingan nasional, agama (Islam) pada dasarnya bersifal universal, menolak batas-batas nasionalisme dan materialisme ala Marx. Namun demikian ketiganya memiliki tujuan yang sama. Melihat situasi demikian, Soekarno merasa tertantang dan yakin bahwa persatuan diantara ketiganya akan menghasilkan kemerdekaan Indonesia. 

Inti dari persatuan adalah saling memberi dan menerima. Persatuan tidak akan terjalin jika masing-masing pihak tidak memahami kedua unsur tersebut. Selain itu, BK juga menyarankan untuk menempuh jalan non-kooperasi, yakni menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Soekarno mempercayai persatuan, bukan kesatuan. Itu sebabnya ia memilih Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan. Visi ini menunjukkan bahwa Soekarno adalah seorang demokrat, karena ia menerima perbedaan, dan kebhinekaan dipahami sebagai sesuatu yang natural dan sangat alami bagi manusia dalam kehidupannya. Namun di balik perbedaan itu, ia melihat arti penting persatuan. Secara filosofis, Soekarno meyakini bahwa persatuan merupakan tali persaudaraan yang menjadi pengikat umat manusia di dunia untuk hidup rukun, damai, dan sejahtera. 

Pemikiran Soekarno Tentang Islam

Pemikiran Soekarno tentang Islam berbeda dengan Natsir, Sukarno lebih pada pemerintah yang sekuler sedangkan Natsir lebih pada negara yang bersifat integralistik. Gagasan pemisahan agama yang di ambil sukarno dari negara di Barat (Eropa) yang menyatakan bahwa agama adalah aturan spiritual (akhirat) dan negara adalah aturan duniawi. Ditambahkan oleh soekarno bahwa agama adalah urusan spiritual pribadi, sedangkan masalah negara adalah persoalan dunia dan kemasyarakatan. Berdasarkan hal tersebut, ia menilai bahwa pelaksanaan ajaran agama hendaknya menjadi tanggung jawab setiap pribadi muslim dan bukan negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini tidak turut campur untuk mengatur dan memaksakan ajaran-ajaran agama kepada para warga negaranya.

Tapi menurutnya dengan dipisahkannya agama dengan negara bukan berarti ajaran Islam dikesampingkan, sebab dalam negara demokrasi, semua aspirasi termasuk aspirasi keislaman dapat disalurkan melalui parlemen. Umat Islam juga jangan terpaku dengan bentuk formal atau luar ajaran Islam tetapi lebih memperhatikan isi (substansi) atau semangat ajaran Islam. Apabila Indonesia menjadi Negara Islam dan Islam diterima sebagai dasar negara maka akan terjadi perpecahan di Indonesia karena tidak seluruh rakyat Indonesia beragama Islam. Menurut pandangan Soekarno, negara nasional adalah cita-cita rakyat Indonesia. Dalam usaha membangkitkan semangat cinta tanah air harus ditekankan pentingnya persatuan yang menurutnya tidak dapat didasarkan pada sukuisme, agama, atau ras. Persatua bangsa menurut Soekarno (mengutip Ernest Renan) hanya bisa dibangun oleh kehendak untuk bersatu (le desire d’etre ensemble) dan rasa pengabdian kepada tanah air. Persatuan harus mengabaikan kepentingan golongan yang sempit sekalipun berupa kepentingan Islam.

Pemikiran Soekarno Tentang Komunis

Soekarno mengenal teori marxisme dari seorang gurunya yang berhaluan sosial demokrat, agar lebih memahami tentang marxisme dia membaca berbagai literatur yang ada tentang marxisme. Teori marxisme bagi Soekarno adalah satu-satunya teori yang dianggap kompeten buat memecahkan persoalan-persoalan sejarah, politik dan masyarakat . Agaknya ide atau pemikirannya tentang pemisahan agama dan negara serta kritiknya terhadap Islam juga dipengaruhi oleh kritik Karl Marx terhadap agama, yang dalam pandangannya akar permasalah itu ada dalam masyarakat, selain sebagai analisis sosial ekonomi Indonesia. 

Dalam sebuah pidatonya, Soekarno mengatakan bahwa ia tidak mau anaknya tidak “kiri” atau dalam artian anaknya harus kiri. Namun Pada kenyataannya Soekarno tegas mengajarkan shalat lima waktu pada anak-anaknya. Jadi di sini jelas terlihat bahwa soekarno tidak mengadopsi konsep penjauhan agama dari kehidupannya atau tidak menganut konsep atheisme . Namun tujuan komunisme itu sendiri secara sosial-politik menurutnya yaitu melakukan pembelaan terhadap rakyat kecil yang terancam oleh bahaya kapitalisme. Cara pandang ini dituangkan Soekarno dalam komunisme versi Soekarno: Marhaenisme, buah pemikirannya yang didasarkan dari pemikiran tiga filsuf besar yaitu: karl Marx, Hagel, dan Engels. Tetapi Soekarno tidak hanya menerapkan Marxisme. Ia juga secara berani dan kreatif merevisi marxisme. Di antaranya dengan menyingkirkan peran dominant proletar untuk diganti oleh Marhaen. Marhaen adalah kaum melarat di Indonesia , yang berbeda dengan kaum proletar, yang masih memiliki alat-alat produksi, walau dalam skala kecil. Teori marxis lain yang tidak dipakai oleh Soekarno adalah perjuangan kelas, karena ia melihat di Indonesia justru diperlukan persatuan dari berbagai golongan agar bias mengusir kolonialisme yang telah berkolaborasi dengan kapitalisme dan imperialisme. Dan berbeda dengan Marx yang tidak menyukai nasionalisme, justru Soekarno menganggap peran penting nasionalisme untuk melawan kapitalisme dan imperialisme di Indonesia.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :