"MANUSIA ITU TIDAK ADA, YANG ADA HANYALAH “SEMUA AKAN BERLALU”
T. Muhammad Jafar Sulaiman
Tidak ada yang abadi dan tetap pada manusia, yang abadi dan tetap pada manusia hanyalah ketiadaan, ketika manusia mendapatkan sesuatu, maka itu seolah – olah adalah hasil dari apa yang diusahakannya, padahal itu semua adalah pemberian, dengan bahasa lain semuanya karena diberi, bukan karena dicari, artinya, ketika manusia mengusahakan sekuat-kuatnya yang secara hukum dunia bisa mendapatkan sesuatu, tetapi ketika belum tiba masanya untuk mendapatkan, maka dia tidak akan mendapatkan, namun dalam kondisi lain, dia sama sekali tidak melakukan apapun, namun karena telah tiba masanya dia mendapatkan sesuatu, maka dia akan mendapatkan, inilah yang disebut dengan “ jika rezeki tidak akan kemana”, atau “jika itu sudah menjadi haknya, maka dia akan mendapatkannya”, tanpa ada yang bisa menghalangi. Dalam kondisi tertentu, kita mungkin akan mendapati manusia yang berada pada posisi ketiadaan, baik secara materi, ide dan lain sebagainya, maka ketika manusia berada pada posisi ini, maka manusia tersebut mengalami kondisinya yang paling asli, kondisi yang paling murni, dia sendiri, tanpa ada yang menemani dan hanya bisa menyampaikan kondisinya tersebut hanya kepada Tuhannya.
Ketiadaan yang paling murni manusia ini adalah ketiadaan manusia dihadapan Tuhannya, di hadapanya Tuhannya manusia memang tidak punya apa-apa, tidak berdaya, karena dia harus menanggalkan semuanya ketika berada dihadapan Tuhan, “Tanggalkan terompahmu dan datanglah kepadaKu” , kata Tuhan kepada Nabi Musa. Ketika manusia hidup di era sekarang, maka manusia harus menanggalkan apapun, apakah pengetahuannya yang tiada tandingan, pangkatnya, jabatannnya, harta dan kekayaannya, semuanya harus ditanggalkan untuk dipersembahkan dihadapan Tuhannya. Karena itu, ketika manusia yang secara fenomenologi berasal dari ketiadaan, maka ketika dia mendapatkan sesuatu, hakikatnya adalah dia telah diberikan kesempatan untuk mengabadi kepada Tuhannya dari apa yang telah didapatkannya tersebut, apakah pengetahuannya, hartanya, pangkat dunianya. Demikian juga sebaliknya, ketika manusia berada di ketiadaan, maka manusiapun harus mengabdi dengan ketiadaanya tersebut, karena yang paling hakiki bagi manusia adalah ketika dia bisa mengabdi kepada Tuhannya, diluar itu, semuanya hanyalah kamuflase, kepura-puraan dan bersandiwara.
Sekarang, jika ingin dibedah lebih dalam, mana manusia yang sebenarnya ?, bagaimana definisi manusia yang sebenarnya ?, mana definisi manusia yang paling murni yang tidak di intervensi dengan apapun ?, manusia yang ada sekarang adalah manusia yang didefiniskan, manusia yang diartikan dan manusia yang diklasifikasikan oleh sosiologi, oleh antropologi, oleh ekonomi, oleh kedokteran, oleh teknologi, lalu mana manusia yang paling murni ?. Manusia yang paling murni adalah manusia yang tidak didefinisikan oleh pengetahuan apapun dan manusia yang paling murni itu adalah manusia yang berjumpa dengan Tuhan dan kemudian Tuhan mengarahkan hidup manusia sesuai dengan yang diinginkan Tuhan, karena bisa saja manusia hidup sesuai keinginanya, namun tidak sesuai dengan yang diinginkan Tuhan. Intinya disini adalah hidup manusia tersebut adalah hidup yang di ridhai Tuhan, karena tidak ada gunanya manusia punya segalanya, tetapi setitikpun tidak di ridhai Tuhan, tentu tidak ada artinya sama sekali. Apa gunanya hidup, apa gunanya punya segalanya, namun hidup tidak di ridhai Tuhan. Karena itu manusia perlu berjumpa dengan Tuhan dan dekat dengan Tuhan agar manusia tahu bahwa hidupnya diridhai atau tidak, berjumpa saja pun belum tentu diridhai, konon lagi tidak berjumpa, tentu dimurkai. Manusia akan menjadi menusia yang utuh ketika ada dalam perjumpaan dengan Tuhan, kesehariannya ada dalam perjumpaan dengan Tuhan, pengetahuannya, hartanya, pangkat dan jabatannya ada dalam perjumpaan dengan Tuhan.
Ketiadaan manusia ini juga berelasi pada ketunggalan dan kemutlakan Tuhan yang tidak bisa diintervensi oleh manusia, baik dengan doa manusia, dengan amalan manusia, maupun dengan segala kebaikan – kebaikan yang dibuat manusia, karena Tuhan tidak boleh diperintah – perintah oleh manusia untuk mengabulkan hal tertentu, untuk menyelesaikan hal tertentu, maupun lainnya, Dia mutlak dan absolut dengan segala keputusannya dan ketika dia berkehendak maka semuanya akan terjadi, apalagi manusia – manusia yang memohon dengan sombong dan tinggi hati, seolah -olah sudah memberikan segalanya, telah mempersembahkan segalanya, maka sudah pasti akan tertolak, karena rendah hati adalah jalan negosiasi, rendah hati dan merendah adalah kewajiban manusia kepada Tuhannya, karena dari sini kasih sayang Tuhan bisa hadir. Rendah hati itu adalah juga kepasrahan pada semua keputusan Tuhan, apapun itu, berharap, sekaligus siap dengan apapun yang diberikan dan diputuskan Tuhan. Relasi seperti ini, tentu tidak ada dalam konteks syariat, tetapi hanya ada dalam konteks hakikat dan makrifat.
Filosofi “ Ini akan berlalu”
Tidak ada kepemilikan mutlak yang dimiliki manusia, yang mutlak dipunyai manusia hanyalah bayangannya sendiri, itupun ketika ada cahaya, ketika manusia membelakangi cahaya, maka dia tidak punya apa-apa, berasal dari ketiadaan dan kembali juga tanpa ketiadaan, ketika lahir disambut oleh semua manusia, namun ketika pergi manusia sendiri, manusia lainnya tidak mungkin menemani, kecuali hanya Tuhannya yang menemaninya dengan setia, karena dia telah kenal di dunia. Manusia itu tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan, karena itu manusia harus selalu berhampiran dengan Tuhan. Yang ada hanyalah semua akan berlalu, semuanya berganti dan kemudian berulang lagi. Datang dan pergi, ramai dan sepi, tercapai dan tidak tercapai, berkuasa dan jadi orang biasa lagi, punya materi dan tidak punya materi. Yang ada adalah yang terus berganti dan yang tetap terus mengabdi.
Ada sebuah nasehat dari seorang Guru Sufi yang sangat masyhur : "Jangan pernah berada dipuncak, kalau berada dipuncak nanti pasti akan jatuh. Ibarat buah, jadilah buah yang mengkal jangan jadi buah yang matang, kalau jadi buah yang matang, maka akan cepat jatuh, karena itu selalu jadilah buah yang mengkal, sehingga tidak akan jatuh. Ketika berada disatu puncak, segera buat puncak - puncak baru, segera buat impian dan capaian - capaian baru, sehingga selalu bergerak, tidak stagnan, selalu dinamis dan tidak statis. Ketika manusia merasa telah berada dipuncak, maka dia akan sombong dan sombong pasti akan jatuh. Manusia yang hanya punya impian disatu puncak, maka dia akan selesai setelah dia mencapai puncak itu, selesai disini berarti mati.
Source : Google |
Dalam hidup kita, kita tentu bisa melihat disekeliling kita, dikampung - kampung misalnya, ada orang yang setelah membuat rumah yang baru, lalu dia meninggal atau ada orang yang setelah berangkat haji dia meninggal, artinya impian tertinggi dia adalah membuat rumah baru, dan impian tertinggi dia adalah naik haji (terlepas itu adalah takdir), seharusnya ketika telah selesai membuat rumah baru, maka dia membuat puncak baru lagi, yaitu punya usaha baru, setelah naik haji, dia juga membuat puncak baru lagi seperti berkelilig dunia misalnya. Ini tentu bukan perkara tidak pernah puas dan tidak bersyukur atas apa yang telah dicapai, bukan, tetapi ini berbicara energi baru, semangat baru, sehingga hidup selalu bergairah, selalu energik dan justru dengan model ini adalah sangat mensyukuri anugerah kehidupan dengan capaian - capaian baru dan mensyukuri kehidupan dengan menggunakan segala potensi dan sumberdaya yang ada pada manusia, karena segala potensi itu adalah anugerah dan mensyukurinya adalah dengan menggunakan sebaik mungkin semua potensi yang ada tersebut. Karena semuanya akan berlalu dan berganti lagi, maka harus selalu ada yang baru, harus selalu ada capaian baru dan puncak baru bagi manusia. Berlalu dan datang lagi ini sejatinya adalah kerendahhatian manusia menjaga kondisi dan kearifan manusia mengelola situasi ketika dia berada pada posisi dan kemudahan – kemudahan tertentu.
Alkisah, ada seorang raja yang ingin menjalankan roda pemerintahan kerajaanya tanpa kerumitan dan tidak ingin berbelit – belit, dia ingin menjadi raja yang tenang, riang gembira, tidak terbeban dengan apapun kondisi yang dia pikul dan dia hadapi. Selama ini, dia tidak pernah menemukan apa yang diinginkan tersebut. Akhirnya, dari para penasehatnya dia mengetahui bahwa ada seorang Sufi yang masyhur dimana raja bisa mendapatkan apa yang dinginkannya tersebut. Berkunjunglah sang Raja ke kediaman sang Sufi tersebut.
“ Wahai Tuan Guru, sudilah kiranya Tuan bisa memberikan nasihat kepada saya, mohon maaf Tuan Guru berilah nasihat kepada saya ini yang tidak panjang – panjang, cukup tiga kata saja, mohon Sang Raja kepada Guru Sufi.
“ Baiklah, karena raja sudah memohon dengan rendah hati, maka aku akan memberikan nasihat kepada raja hanya dengan tiga kata saja yaitu “ ini akan berlalu”. Sang raja pun lansung tertegun dengan nasihat Sufi tersebut, hatinya pun menjadi sangat damai dan tenang, wajahnya sangat sumringah, sangat berbeda dengan ketika dia datang tadi.
“ Wahai raja, semua manusia pasti akan mengalami dan menjalani tiga kata ini,…kekuasaan anda sebagai raja, tidak akan selamanya, pasti akan berlalu, segala masalah yang menggunung, segala kepelikan dan kerumitan yang anda alami dan hadapi pasti akan berlalu dan selesai, dan tidak selamanya abadi. Kesenangan, kebahagiaan yang anda alami, juga pasti akan berlalu, segala kesedihan, segala hati yang seakan – akan hancur berkeping-keping, pasti akan berlalu, semua pasti berlalu dan berganti dengan yang lainya. Semua ada selesainya, semua ada berakhirnya, yang manusia tidak sabar adalah menjalani dan mengalami bahwa “ini akan berlalu”. Seandainya manusia bersabar sedikit saja bahwa ini semua akan berlalu, maka tidak ada sama sekali yang perlu dirisaukan, yang perlu difikirkan oleh manusia sampai sakit bahkan sampai stress, semua pasti akan berlalu.
Nasehat sang Sufi itu adalah nasihat penting bagi manusia, ketika manusia ada pada kesadaran semua pasti akan berlalu, maka dia akan menjadi manusia yang bersyukur dan menjaga dengan baik ketika dia berada pada kondisi tertentu. Misalnya, dia punya sahabat yang selalu beriringan dengannya dalam segala kondisi, senang dan bahagia, suka dan duka, lalu dia mendapatkan sebuah kekuasaan atau jabatan tertentu, maka dia tetap akan menjaga persahabatan tersebut karena dia sadar bahwa kekuasaan dan jabatan tertentu itu akan berlalu, namun persahabatan tetap akan berlanjut, namun ketika dia tidak menyadari itu, dan menjadi jauh dan menjaga jarak dengan sahabat-sahabatnya tersebut, maka ketika kekuasaan itu berlalu, maka dia akan tinggal sendiri, dan ketika manusia tahu bahwa sebuah persahabatan juga akan berlalu, maka manusia – manusia tersebut akan saling menjaga persahabatan tersebut sampai di ujung.
Manusia yang baik adalah manusia yang dengan riang gembira menjalani hidup karena dia tahu semua akan berlalu, kesenangan yang didapatkannya akan disyukuri dengan cara yang baik, karena dia tahu ini akan berlalu dan berganti lagi dengan yang lainnya. Segala masalah, penderitaan, kesulitan yang dialami, pasti akan berlalu, karena itu dia akan menjalani hidup dengan santai dan tenang, hati yang remuk dan hancur berkeping-keping pasti akan berlalu dan berganti dengan hati yang utuh dan tidak akan hancur lagi. Ketika semua berlalu, hanay satu yang tidak pernah berlalu yaitu “kasih sayang Tuhan”, dia akan tetap diantara semua yang berlalu. Karena itu jalanilah hidup dengan segala yang akan berlalu dan cintailah Tuhan dengan segala ketetapan,
Fatum Brutum Amor Fati