Hakikat Peribadatan Dalam Masa Depan Agama-agama


Philosufi.net - Tulisan ini ingin melihat dan menelusuri peribadatan dalam bentuk hakikat dan fungsinya dalam beragama berdasarkan ruang pertemuan agama-agama, tidak pada persfektif peribadatan dalam Islam dan menjadikan peribadatan dalam Islam sebagai alat ukur untuk melihat peribadatan agama-agama lain. Peribadatan adalah salah satu bentuk tersendiri bagi umat beragama sebagai bagian dari ketertundukan diri manusia pada sesuatu yang Adi Kuasa yang ada diluar manusia, oleh Karena itu manusia merasa perlu dan butuh bahkan wajib untuk melakukan ritual-ritual ketertundukan tersebut melalui mekanisme ritual-ritual peribadatan untuk menyembah dan mendekatkan diri dengan Yang Adi Kuasa tersebut.

Hakikat beragama adalah bagaimana mentranformasikan nilai-nilai “religious satisfied” kedalam konsep-konsep realitas kemanusiaan, berupa kasih terhadap sesama. Yang ingin kita bicarakan disini adalah peribadatan dalam arti hakikat, bukan peribatan simbolik-formalisme yang hanya mendatangkan dan memperbesar jurang sektarianisme. Setiap agama punya mekanisme dan jalan masing-masing dalam peribadatan. Dalam kacamatan filsafat agama, “truth claim” adalah sesuatu yang harus dihindari, hal ini tentu terkait dengan penghargaan terhadap wilayah sakral setiap agama agar tidak di intervensi oleh satu agama tertentu terhadap agama lainnya. Hal ini merupakan tantangan besar saat ini, karena tantangan teologis terbesar kekinian dalam kehidupan beragama adalah bagaimana seorang yang beragama bisa mendefinisikan dan memposisikan dirinya dengan keimanannya ditengah keimanan agama lain (bagaimana bisa berteologi ditengah teologi agama-agama lain), karena dalam pergaulan antar agama semakin hari kita semakin merasakan intensnya pertemuan iman dalam agama-agama. 

Philosufi, Philosufi Institute, Hakikat Beragama adalah,
Sumber Foto : Google

Pada tahap selanjutnya (tingkatan teologis) yang merupakan dasar dari agama, juga muncul banyak kebingungan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri ditengah agama-agama lain yang juga eksis, dan punya keabsahan. Karena masih kentalnya pengaruh konstruksi teologi lama, dimana teologi lama tersebut telah di set-up dan kemudian sejarah mengekstrimkannya dalam kondisi non pluralitas ; bahwa agamakulah yang yang paling benar, yang lain salah atau telah menyimpang, belum lagi persoalan sosial politik yang kadang tiba-tiba memunculkan ketegangan dan kekerasan, seperti konflik-konflik agama yang sering terjadi selama ini. 

Hakikat beragama itu tidak bisa diukur dari regulasi-regulasi yang sedemikian rupa mengatur agama-agama untuk beribadah, karena titik temunya ada pada hakikat peribadatan yaitu, menyembah yang satu, yang satu yang tidak punya agama. Memahami ini tentu butuh waktu yang panjang dan lama, karena persoalan utamanya adalah konstruksi teologis yang sudah terbentuk tadi ditambah lagi penggunaan fiqih lama untuk melihat relasi-relasi agama, padahal kodifikasi fiqih terjadi pada saat hubungan Islam dan agama lain (terutama Kristen) sedang berada pada kondisi yang tidak harmonis, jadi selalu berada dalam masalah ketika melihat persoalan peribadatan agama-agama lain hari ini dengan memakai fiqih lama, hasil kodifikasi tersebut.

Untuk konteks saat ini banyak orang menyebutnya dengan zaman baru atau “New Age Order”, yaitu sebuah zaman yang ditandai dengan pesatnya perhatian terhadap dunia mistik-spiritualitas, terutama pasca revolusi Islam Iran 1979, dimana agama menjadi sebuah inspirasi revolusi yang bisa menumbangkan dekapan neo-liberalisme modern. Semboyan untuk masa sekarang sebenarnya dari fenomena-fenomena yang ditunjukkan oleh realitas kemasyarakatan dunia adalah seperti ditulis oleh John Naisbit dan Patricia Aburdene, yaitu “Spirituality, Yes ! ; Organized Religion, No ! memang menandai besarnya perhatian pada kecendrungan tersebut, khususnya pada manusia barat yang tiba-tiba saja haus dengan spiritualitas Timur.

Agama Sebagai Identitas ?

Problem kekinian terkait makna dan hakikat peribadatan dalam agama juga terkendala dengan adanya adagium “agama sebagai Identitas”. Karena mau tidak mau, analisis kebangkitan agama, kerap disalah pahami menjadi politik identitas, seperti terjadi dibanyak belahan dunia, apalagi Indonesia dan Aceh, fenomena ini juga terjadi dinegara-negara Barat, dimana juga kerap menjadikan agama sebagai politik identitas. Pertanyaannya, dapatkah agama diperlakukan sebagai salah satu identitas ?. Selain dipandang sebagai kumpulan doktrin normatif (teologis) atau kepercayaan, agama disebut secara bervariasi oleh peneliti sebagai budaya, kelompok, doktrin komprehensif, identitas, dan sebagainya. Dengan penyebutan-penyebutan itu tampak bahwa agama menjadi satu diantara banyak faktor penyumbang keragaman, karena ada pula identitas, budaya, kelompok, doktrin komprehensif yang non agama (misalnya bersumber pada etnisitas, ras, oroentasi seksual, kelompok gender, ideologi, filsafat hidup, dan sebagainya).

Paling tidak ada dua keberatan umum terhadap persfektif yang melihat agama sebagai identitas, pertama, anggapan bahwa “agama tidak boleh menjadi identitas”, karena dengan demikian dia akan sekadar dijadikan dasar klaim atau tembok tebal yang membedakan seseorang/kelompok beragama dari orang/kelompok agama lain. Kedua, anggapan bahwa “agama bukanlah sekedar identitas”, tetapi ia merupakan pandangan hidup, kumpulan kepercayaan atau doktrin yang mengajukan klaim kebenaran, yang berbeda dari identitas-identitas lain seperti pekerjaan, jenis kelamin, etnis dan sebagainya, pendeknya, agama lebih penting dari sekadar identitas. 

Kedua keberatan normatif itu bisa dipahami. Untuk keberatan pertama, yang bisa dikatakan adalah bahwa kita berharap agama tak menjadi kekuatan pembeda, tetapi memang itulah yang terjadi kini. Memandang agama sebagai identitas memberikan penekanan bukan pada kandungan teologis agama itu sendiri, tetapi pada fungsi sosial yang dijalankan.

Hakikat dan Fungsi Peribadatan dalam Agama : Meta Religion.

Membicarakan, menganalisa dan menceritakan hakikat dan fungsi peribadatan dalam agama-agama secara differensiasi dan stratifikasi agama (Hindu, Yahudi, Budha, Konghucu, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Islam, Taoisme, Sikh, Zoroaster) itu sudah biasa dan sering dilakukan, dan konteksnya bukanlah sesuatu yang urgen untuk saat ini, tetapi yang lebih urgen dan penting adalah bagimana melihat hakikat dan fungsi peribadatan dalam perjumpaan (titik temu) agama-agama, ini dirasa perlu agar menjadi bahan renungan dan refleksi menghindari terjadinya konflik antar agama (juga internal Islam) terkait “truth claim” yang menganggap ritual dan peribadatan agama tertentu yang paling benar, bila dibandingkan dengan ritual peribadatan agama yang lain. 

Padahal hakikat dan fungsi peribadatan dalam agama adalah menuju kepada “Yang Satu” menuju kepada “Causa Prima”, atau dalam tradisi sufi disebut “Wahdah Al-Wujud”, dan ini hanya bisa dibicarakan dalam ranah metafisis, ranah terakhir dari ranah positivistis yaitu (alam material, rasional dan wahyu). Sedangkan metafisis adalah wilayah tertinggi dari tiga ranah positivistis tadi. Titik temu hakikat dan fungsi peribadatan dalam agama-agama adalah Perenniliasme (nilai-nilai hikmah keabadian) dan ini adalah masa depan dalam hubungan agama yang juga sekaligus hubungan antar manusia. Karena kearifan (wisdom, hikmah) tidak hanya dimiliki oleh satu agama atau ras tertentu, tetapi oleh semua agama dan ras.

Dalam definisi teknisnya, perennialisme adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada. Frithjof Schuon mendefinisikan perennialisme adalah :
" The timless metaphysical truth underlaying the diverse religion, whose written sources are the revealed Scriptures as well as the writing of the great spiritual masters "
Pendefinisian yang lebih jelas disampaikan Aldous Huxley bahwa perennialisme adalah : pertama, metafisika yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan Ilahi dalam segala sesuatu, kehidupan dan pikiran ; kedua, suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu dalam jiwa manusia (soul) identik dengan kenyataan Ilahi itu ; dan ketiga, etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan, yang bersifat imanen maupun transenden, mengenai seluruh keberadaan. 

Pengetahun perennial ini, memang memperlihatkan kaitan dari eksistensi yang ada diseluruh alam semesta ini dengan realitas yang absolut, realitas yang satu. Realisasi pengetahuan ini dalam diri manusia, hanya dapat dicapai melalui apa yang disebut intelek (Soul/Spirit), yang jalannya pun hanya dapat dicapai melalui tradisi, ritual-ritual, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini sepenuhnya oleh kalangan perennial ini berasal dari Tuhan. Dasar-dasar teoritis pengetahuan tersebut, ada dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik, yang dikenal dengan berbagai konsep. Misalnya, dalam agama Hindu disebut dengan Sanathana Dharma, yaitu kebajikan abadi yang harus menjadi dasar kontekstualisasi agama dalam situasi apapun, sehingga agama selalu termanifestasikan dalam betuk diri etis dalam keluhuran hidup manusia. Demikian juga dalam Taoisme diperkenalkan konsep Tao, sebagai asas kehidupan manusia yang harus diikuti kalau ia mau alami sebagai manusia. 

Di Cina, misalnya Taoisme berusaha mengajak manusia untuk berpaling dari dunia kepada Tao (“jalan”) yang dapat membawa manusia kepada penyucian jiwa dan kesalehan. Dengan Tao, manusia manusia dibawa kepada keaslian dirinya, yang hanya bisa dicapai dengan sikap wu-wei (tidak men campuri) jalan semesta yang sudah ditetapkan. Jadi Tao mengajak manusia untuk hidup secara alami (suci), yang didalam Islam disitilahkan dengan Fitrah. Begitu pula dalam agama Budha, diperkenalkan konsep Dharma yang merupakan ajaran untuk sampai kepada The Buddha-nature, atau dalam agama Islam disebut al-Din, yang berarti “ikatan” yang harus menjadi dasar beragama bagi seseorang Muslim, dalam filsafat abad pertengahan ini semua disitilahkan dengan Sophia Perennis, dan sebagainya. 

Inilah yang dalam konteks kekinian disebut dengan “Perennial Religio”, yaitu adanya hakikat yang sama dalam setiap agama, yang dalam istilah sufi sering disebut dengan “religion of the heart”, meskipun terbungkus dalanm wadah/jalan yang berbeda. Bahwa Tuhan telah menciptakan berbagai agama untuk kepentingan berbagai pemeluk, berbagai waktu dan berbagai negeri. Semua ajaran merupakan jalan. Sesungguhnya seseorang akan mencapai Tuhan, jika ia mengikuti jalan manapun, asal dengan pengabdian yang sepenuh-penuhnya”.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :