80 TAHUN MERDEKA DALAM 80 MASALAH BANGSA


T. Muhammad Jafar  Sulaiman

Di Indonesia, manusia lahir dalam ketakutan, hidup dalam ketakutan dan meninggal pun dalam ketakutan. Semua dalam ketidak pastian dan tanpa jaminan yang penuh dan memadai. Mulai dari pusat sampai daerah, selama penyelenggara negara bekerja tidak berdasarkan meritokrasi, maka selama itu pula kemerdekaan hanya sebuah narasi di jam 08.00 – 10.00 pagi setiap tanggal 17 Agustus, selebihnya adalah perbudakan, penjajahan, perampasan ekonomi, perampasan hidup, perendahan dan penghilangan martabat manusia oleh sesama anak Bangsa. 

Kita sudah 80 tahun merdeka, hitungannya adalah 4 tahun merdeka dari penjajahan asing (1945-1949) dan berganti dengan 76 tahun penjajahan antar sesama anak bangsa sendiri. Dulu penderitaan karena sama-sama dijajah menyatukan kita dan kini kesenangan, kegembiraan disetiap kemenangan kontestasi politik memecah belah kita, membelah kita menjadi masyarakat yang tidak lagi saling berempati dan saling membantu satu sama lain. Kita menjadi masyarakat yang dengan kerja – kerja politik terbelah menjadi masyarakat yang tidur dalam dogman agama yang begitu dalam dan panjang dan masyarakat yang terbebas dari tidur panjang dalam dogma agama namun membabi buta dalam keserakahan ekonomi dan kesejahteraan untuk diri sendiri, untuk kelompok dan golongan sendiri. 

Saat ini kita hidup sebagai bangsa yang besar dan punya segalanya, punya sumberdaya manusia yang luar biasa, kekayaan sumber daya alam yang tiada bandingannya, hubungan sistim kekerabatan yang paling lengkap didunia, punya tanah yang subur dan air yang melimpah, tetapi kita hari ini belum bisa menjadi sebuah Bangsa yang bisa berbagi kebahagiaan satu sama lain. Bangsa yang punya 17.000 pulau, 1331 suku dan 652 bahasa daerah masih kalah dengan Finlandia dan Denmark, negara yang masyarakatnya bisa berbagi kebahagiaan, kegembiraan secara kolektif. Kita memang sebuah Bangsa yang besar, sangat beragam, banyak perbedaan yang tentu tidak sama dengan bangsa lainnya yang cenderung homogen, tetapi selama negara di urus oleh orang benar dengan cara-cara yang benar dan selalu berdiri diatas kepentingan untuk orang banyak, maka kita tentu lengkap syarat untuk menjadi negara paling bahagia didunia dan bisa menjadi rujukan dunia. 

17 Agustus 2025 adalah 80 tahun kita merdeka dalam 80 masalah Bangsa. Tamsilannya adalah ketika seorang pemimpin di Indonesia ditanya, apa saja persoalan utama di Indonesia yang harus segera dibenahi, maka jawabannya adalah : “ semuanya bermasalah”. Sebut saja persoalan Bangsa Indonesia saat ini adalah Kemiskinan, Korupsi, Penegakan hukum yang lemah, kualitas pendidikan yang rendah, pengelolaan Sumber Daya Alam yang buruk, Kasus SARA yang Merajalela, Kesenjangan Sosial, perendahan martabat manusia, Kemacetan, Pengangguran, banyak Daerah yang Kurang Diperhatikan, disini ada 11 persoalan dan disana, di 38 Propinsi, 416 Kabupaten dan 98 Kota ada 69 persoalan lagi yang menggenapi 80 persoalan Bangsa Indonesia. 


source : Google 

Di Belahan dunia lain, masih ada Bangsa- Bangsa yang harus berjuang dan berperang untuk memperoleh kemerdekaan sejatinya, betapa berat dan butuh pengorbanan besar untuk memperoleh sebuah kemerdekaan, dan ketika itu kita dapat, kita justru mengisi kemerdekaan dengan penindasan yang terstruktur dan atas nama demi negara.

80 tahun merdeka, kita masih menjadi Bangsa yang suka membunuh manusia, merampas kemerdekaan manusia, masih berlaku sewenang-wenang terhadap manusia lain. Mental seperti ini tentu bukanlah mental orang – orang merdeka, tetapi mental penjajah yang masih abadi setelah penjajah pergi dan diteruskan oleh pribumi sendiri. 

27 Juli 2025, 20 hari sebelum perayaan Kemerdekaan Indonesia, sebuah rumah doa umat Kristen di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang Sumatera Barat diserang dan dirusak massa, dua anak – anak menjadi korban,  beberapa orang memukul jendela kaca menggunakan kayu, melempar kursi, serta merusak barang-barang yang ada di dalam rumah doa tersebut.Puluhan anak-anak yang sedang belajar agama Kristen di dalam rumah doa itu, histeris dan berlarian keluar. Dua anak berusia 11 tahun dan sembilan tahun menjadi korban pemukulan. Satu anak kakinya cedera dan tidak bisa berjalan karena dipukul dengan kayu. Satu lagi bagian bahunya juga dipukul dengan kayu. Rumah doa tersebut didirikan untuk tujuan pendidikan agama terhadap anak-anak Kristen yang menimba ilmu di sekolah negeri karena mereka tidak mendapatkan pendidikan agama Kristen di lingkungan sekolah. Memang sakit benar Bangsa ini saat ini. Jangankan kita manusia, Tuhan pun heran dengan Bangsa Indonesia, sudah puluhan tahun merdeka, kenapa masih ada penjajahan dan panindasan untuk  agama tertentu. Kejadian penyerangan di Padang ini tentu bukan satu, ada banyak lainnya di berbagai wilayah Indonesia yang terus saja terjadi berulang kali, tanpa ada penindakan sama sekali, tanpa ada “Law enforcement” sama sekali terhadap para pejabat publik yang intoleran. Yang jangankan yang beragama, yang Atheis sekalipun wajib dilindungi dan dihormati. 

Raya, seorang anak balita 4 tahun asal Kampung Pandangeyan, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dengan banyak cacing di tubuhnya pada 22 Juli 2025. Balita yang punya takdir lahir di Indonesia, meninggal persis 25 hari sebelum perayaan 80 tahun Indonesia merdeka. Bocah ini lahir di negara yang katanya sudah merdeka 80 tahun, tetapi mati karena jajahan cacing karena para penyelenggara negara abai. Dalam ketidak mengertian, jutaan rakyat Indonesia bertanya dengan heran, bagaimana bisa dan bagaimana mungkin  tenggang rasa tidak ada lagi di Indonesia sehingga satu orang balita bisa meninggal, apa tidak ada lagi identitas bangsa Indonesia yang bersaudara satu sama lain ?. Kita memang selalu tampil sebagai bangsa yang beramai-ramai menyesal kemudian setelah semua terjadi daripada bersama-sama peduli pada siapapun yang ada disekitar. 

Terakhir, 6 Agustus 2025, 11 hari sebelum matahari pagi  17 Agustus 2025 terbit, seorang anak manusia dari Timur Indonesia juga terenggut nyawanya justru dalam institusi yang punya tugas utama menjaga kedaulatan Indonesia, menjaga nyawa Indonesia, tetapi justru merenggut nyawa anak Bangsa yang bertugas menjaga Bangsanya sendiri. Prada Lucky Namo meninggal setelah dirawat di rumah sakit, diduga akibat dianiaya seniornya saat bertugas di Batalion Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Tiga peristiwa diatas yang merenggut hidup dan kemerdekaan anak – anak bangsa, tentu hanya mewakili berbagai peristiwa lainnya yang jumlahnya juga puluhan bahkan melebihi angka usia kemerdekaan Indonesia tahun 2025 ini. Bangsa kita benar – benar sedang sakit dalam urusan menjaga manusia dan benar – benar sehat dalam menjaga urusan kemakmuran kelompok-kelompok tertentu. 

Kapan Negara Hadir ? 

Sama seperti teriakan Sersan Mayor Christian Namo, orang tua dari Lucky Namo yang meneriakkan agar negara hadir, tentu teriakan ini hampir sama telah terjadi dala hitungan puluhan tahun kita merdeka, namun negara tidak pernah hadir. Karena jika negara benar – benar hadir, maka ketiga peristiwa diatas dan juga berbagai kejadian lainnya tentu tidak akan terjadi berulang – ulang kali lagi. Negara hadir tentu bukan dengan pidato dari podium atau postingan media sosial, negara hadir dengan mencegah siapapun agar penyelenggara negara dan segala peringkat dari pusat dan daerahnya, dan berabagai institusi negara lainnya tidak lagi berani sembarangan bertindak sewenang – wenang melecehkan, menghina, membiarkan dan merampas hidup orang lain, negara harus memberikan sanksi tegas kepada siapapun yang melakukan tindakan sewenang – wenang dengan memberhantikan langsung para pejabat publik tanpa perlu menunggu pegunduran diri dan kemudian menghukum seberat – beratnya pelaku dengan hukum yang tegas dan adil. Dalam hal intoleransi misalnya, pejabat publik yang mengeluarkan instruksi, edaran dan ucapan diruang publik yang merampas kemerdekaan beragama harus diberikan sanksi tegas berupa pemberhentian.   

Para penyelenggara negara adalah sosok yang paling bertanggung jawab terhadap kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia. Negara tidak boleh lepas tangan dan membiarkan rakyatnya saling berkompetisi untuk hidup bahagia, sejahtera dan merdeka dan negara lalu lepas tangan dengan kompetisi yang timpang dan tidak sehat. Tanggung jawab ini tentu dari hulu dan hilir. Tanggung jawab yang harus ditunaikan mulai dari rakyat Indonesia lahir, menikmati pendidikan sampai meninggal. Pendidikan seharusnya gratis dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan adanya jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak selesai kuliah dan jika ini tidak bisa dipenuhi maka perguruan tinggi bisa dituntut dan negarapun bisa dituntut ketika tidak bisa memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Peribahasa “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” kini berubah menjadi “dimana bumi dipijak disitu rakyat dipajaki” 

Di zaman modern ini, bentuk penjajahan tidak selalu berbentuk senjata, tetapi kita hiduo dalam penjajahan gaya baru yang justru masuk melalui pintu yang kita biarkan terbuka: teknologi, informasi, budaya populer, bahkan sistem ekonomi. Banyak orang terjebak dalam perbudakan gaya hidup konsumtif, pencitraan media sosial, dan ketergantungan finansial. Kita mungkin bebas secara politik, tetapi banyak yang menjadi “budak” cicilan, “budak” gaya hidup, atau “budak” validasi online. Inilah realita bahwa kemerdekaan fisik bisa dimiliki, tetapi kemerdekaan hati dan pikiran sering hilang tanpa kita sadari dan negara hari ini abai terhadap semua ini. 

Rieke Diah Pitaloka, dalam sebuah rapat di DPR RI dari PDI P menyampaikan bahwa harta dan jabatan tidak dibawa mati, bukan sesuatu yang harus dikejar dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan hidup orang banyak. Suara seperti ini tentu suara dari seluruh rakyat Indonesia yang hari ini sangat heran mengapa mereka bisa hidup miskin dinegara yang kaya dan banyak uang ini, apa yang dikejar oleh penyelenggara negara itu dengan menumpuk kekayaan, sementara yang lainnya hanya menumpuk kemelaratan dan kekecewaan. 

Heroisme sebuah bangsa bukanlah momentum dari sebuah seremonial kemerdekaan, tetapi dari abadinya keadilan dan kesejehteraan rakyat yang diberikan bahkan sebelum kemerdekaan dirayakan. Sebagai anak bangsa, kita tentu selalu mengharapkan dan menantikan kehadiran seorang pemimpin yang bisa bertindak bahkan diatas ratu adil yang mampu memberikan kesejahteraan, kemakmuran dengan berani dan tanpa takut. Kita merindukan seorang pemimpin yang bisa memindahkan kegembiraan, keriangan beragama simbol etnik dan budaya di Istana setiap 17 Agustus menjadi keriangan dan kegembiraan terbebasnya rakyat Indonesia dari kemelaratan dan kemiskinan. Memindahkan kegembiraan kolaborasi Minang – NTT dari istana kepada ratusan etnik lainnya diluar Istana sehingga rakyat Indonesia benar – benar bersatu dalam kesejahteraan bersama dan bukan bersatu dalam sebuah nasionalisme imajiner. 

Memasuki 80 tahun usia kemerdekaan dengan 80 masalah kebangsaan hari ini, yang harus dimengerti oleh para penyelenggara negara adalah bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya urusan politik atau sejarah, tetapi juga perjalanan spiritual, intelektual, dan moral yang berlangsung seumur hidup. Tan Malaka mengingatkan kita untuk memerdekakan pikiran dari kebodohan. Psikologi mengajarkan pentingnya kemerdekaan batin untuk hidup otentik. Dan realita mengajarkan bahwa merdeka dalam bekerja adalah pondasi martabat manusia. Karena itu, mari kita jaga kemerdekaan ini—mulai dari hati, pikiran, hingga tindakan—agar kita benar-benar merdeka didunia dan dihari akhir nanti. Semoga 81 tahun Indonesia merdeka kedepan, 81 masalah bangsa terselesaikan. 







Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :