AGAR MERDEKA, ORANG ACEH WAJIB KAYA !
Miskin itu adalah problem struktural, sedangkan kaya adalah takdir spiritual. Problem struktural berarti merujuk pada kondisi di mana individu dan kelompok tertentu terjebak dalam kemiskinan secara berkelanjutan dan terus menerus akibat ketidaksetaraan struktural dalam masyarakat. Lebih dari sekadar kurangnya pendapatan, kemiskinan struktural muncul akibat sistem, kebijakan, pemimpin yang keliru dan tidak beres dan juga akibat faktor sosial yang timpang yang berinteraksi secara kompleks. Sedangkan kaya sebagai takdir spiritual adalah kaya yang terjadi tanpa sebab, kaya yang tidak masuk akal, kaya yang tidak memakai logika dan juga kaya yang bukan warisan. Kaya ini kaya yang terjadi bukan karena kerja keras, bukan kaya yang terjadi karena ada kesempatan, tetapi kaya yang datang begitu saja, begitu mudahnya ketika memang telah pantas dan patut untuk kaya. Sehingga orang yang mendapatkan kekayaan tersebut akan rendah hati, tidak sombong, karena didapatkan dengan mudah, bukan karena kerja kerasnya, bukan karena kesungguhannya.
Uang itu netral, uang tidak kenal halal dan haram, uang juga tidak kenal agama, tidak kenal Tuhan, persis seperti Qatar, UEA dan Arab Saudi yang kenal Trumph dan tidak kenal lainnya, uang hanya kenal kepada orang – orang yang menginginkannya dan orang – orang yang ingin mendapatkannya, uang itu tidak pilih kasih, manusialah yang sering pilih kasih. Karena itu tidak ada yang bisa menetralkan uang dan tidak ada yang bisa menundukkan uang kecuali dengan spiritual yang murni, ketika uang tunduk kepada spiritual yang murni, maka dia tidak perlu dikejar, seperti orang yang berjodoh, tidak dikejar pasti akan datang sendiri. Namun kerja keras, pantang menyerah, selalu optimis, penuh semangat, tekun, disiplin, ulet, harus tetap wajib dilakukan manusia karena usaha untuk berubah itu harus dari manusia sendiri, tetapi untuk menjadi kaya bukan semua itu sebabnya, tetapi “invisible hand” yang terkadang tidak nampak, ini tentu sulit diterima dan sulit dipahami tetapi sangat mudah saja terjadi, ketika kaya ya kaya saja, tanpa perlu sebab apapun.
Kaya sebagai takdir spiritual ini hanya terjadi kepada orang-orang dan sosok yang telah selesai dengan dirinya sendiri, artinya kaya yang terjadi bukan karena sebab manusia, tetapi sebab diluar manusia, telah selesai dengan segala persoalan mental negatif, telah selesai dengan segala persoalan hidup yang berpusat kepada diri sendiri dan sudah terpusat kepada untuk menghidupi orang banyak, sudah berorientasi kepada bagaimana orang lain juga makmur dan kaya, makmur dan kaya bersama-sama.
![]() |
Source : Google |
Miskin sebagai problem sturktural juga terjadi karena agama yang dipraktekkan secara keliru, sedang kaya sebagai takdir spiritual terjadi karena pengabdian kepada Tuhan yang dipraktekkan secara benar. Untuk Aceh, kemiskinan yang terjadi di Aceh adalah kemiskinan seperti yang dikatakan Marx, yaitu kemiskinan sebagai “candu” agama, yaitu kemiskinan yang sangat amat nyata, dilalaikan dan dibuat candu dengan agama. Kemiskinan yang dikondisikan harus diterima karena ketidak patuhan kepada Tuhan, padahal kemiskinan yang terjadi dengan sangat amat nyata adalah akibat kesalahan kebijakan, akibat ketidak adilan distribusi kemakmuran dan akibat dari ketidak pedulian pemimpin terhadap kesejahteraan rakyat yang kemudian ditutupi dengan dihadirkannya agama diruang publik, dengan dalih wajib shalat berjamaah, hentikan segala aktifitas ketika azan, operasi pemberantasan maksiat, penggerebekan, membangun opini bahwa begitu massifnya pelanggaran syariat yang telah dilakukan oleh rakyat sehingga Tuhan mengutuk kita dan mengirimkan bala kepada kita sehingga hidup kita sulit dan menjadi miskin, padahal bala sesungguhnya adalah pemimpin yang suka sekali menjual agama diruang publik. Karena sesungguhnya adanya pemimpin itu adalah rahmat ketika sebagai pemimpin dia mengabdi sebagai relawan untuk kemakmuran rakyatnya, jika sebaliknya, maka pemimpin itu adalah bala.
Kemiskinan yang terjadi di Aceh bukan lagi sebagai angka-angka statistik, tetapi sudah menjadi keseharian hidup, sudah menjadi mental akut yang semakin larut dan mengental seiring dengan dihadirkannya kebijakan- kebijakan agama diruang publik. Semakin kebijakan agama dihadirkan keruang publik, maka pemimpin semakin tidak peduli pada persoalan pengentasan kemiskinan dan persoalan kesejahteraan rakyat, ketika rakyat banyak di buat candu oleh kebijakan agama tersebut, maka rakyat semakin kagum dan halu pada sosok pemimpin yang dianggap pahlawan syariat tersebut dan ketika rakyat banyak menjadi halu, ribut dan saling berbalas pantun pro dan kontra kebijakan syariat tersebut, maka para pemimpin semakin leluasa mengeruk uang untuk kepentingannya sendiri, untuk kepentingan kelompoknya sendiri dan untuk memperkaya dirinya sendiri dan untuk memperkaya kelompoknya sendiri.
Mengapa orang Aceh wajib Kaya ?
Dengan segala penghinaan dan pelecehan diruang – ruang publik yang dilakukan oleh para pemimpin terhadap orang banyak di Aceh, maka orang Aceh wajib kaya untuk melawan segala penghinaan yang dilakukan tersebut. Mengapa itu disebut penghinaan ?, karena para pemimpin tersebut selalu membawa nama Tuhan ketika tampil sebagai pahlawan untuk menegakkan agama, misalnya menggunakan bahasa- bahasa “ tidak takutkah kalian kepada Allah atas apa yang kalian lakukan ini ?”, kata – kata itu misalnya diucapkan persis ketika semua orang tahu bahwa proses dia terpilih sebagai pemimpin juga melalui cara – cara kotor yang tidak diridhai Allah. Maka dalam hal ini, siapa yang lebih buruk dihadapan Allah ?.
Karena Syariat Islam adalah untuk pemenuhan hak - hak hasar manusia dan juga pemenuhan kesejahteraan manuais. Bukan untuk mengurusi pakaian manusia, bukan untuk menghukum manusia dan bukan untuk mempermalukan manusia. Tugas dan kewajiban pemimpin adalah memenuhi semua kebutuhan dasar manusa dan meningkatkan kesejahteraan manusa, agar manusia terhindar dari segala kekufyran, karena kemiskinan itu sangat dekat dengan segala kekufuran, oleh karena itu pemimpin berkewajiban untuk fokus bekerja menghilangkan kemiskinan, sehingga manusia terhindar dari segala kekufuran. Ketika pemimpin fokus dan menghabiskan waktunya pada pemberantasan maksiat, itu bukanlah sebuah prestasi besar, tetapi justru akan semakin meningkatkan kemaksiatan karena sumber utamanya tidak bisa dihilangkan yaitu kemiskinan akut.
Meskipun akibat salah urus para pemimpin sehingga Aceh menjadi provinsi paling miskin di Sumatera, maka orang Aceh tetap wajib kaya, tidak boleh miskin, karena harus sering bepergian keluar Aceh, minimal ke Medan, walaupun misalnya hanya untuk menonton film di bioskop, menonton konser besar dan berkelas, menikmati mall yang besar dan serba lengkap, menikmati wahana hiburan atau wisata yang besar dan lengkap, semuanya untuk menikmati semua yang tidak ada di Aceh dan memang sengaja tidak di “adakan” di Aceh.
Orang Aceh, terutama kaum perempuannya juga harus kaya untuk membeli kain sarung dan jilbab yang bagus, yang mahal, yang branded dan tidak murahan karena setiap saat bepergian memakai jilbab tersebut agar ketika ada razia di jalanan yang dilakukan oleh kaum bapak – bapak, tidak diberikan jilbab yang mungkin murahan yang kalau dipakai mungkin akan gatal-gatal atau membuat iritasi rambut dan kulit. Ini penting untuk memberikan pelajaran bahwa kaum perempuan itu adalah sumber segala kekayaan, bukan sumber segala maksiat dan sumber segala kemungkaran dimuka bumi.
Orang Aceh juga harus kaya, bahkan kekayaan dan hartanya itu harus lebih banyak dari harta pejabat-pejabat publik di Aceh, agar harta kekayaannya itu bisa dipamerkan melebihi harta kekayaan yang dipamerkan para pejabat dan keluarga para pejabat itu. Ini penting untuk meningkatkan marwah dan harga diri orang Aceh yang telah diruntuhkan oleh para pemimpin melalui kebijakan – kebijakannya yang tidak perlu dan tidak penting.
Orang – orang Aceh wajib kaya untuk memberikan pelajaran kepada para pemimpin tersebut bahwa rakyat Aceh kaya bukan karena kepatuhan pada kebijakan agama diruang publik yang diterapkan oleh para pemimpin tersebut, tetapi karena kepatuhan mereka kepada Tuhan secara lansung dan karena kerja – kerja sendiri yang dilakukan oleh rakyat sekalipun tanpa dukungan kebijakan dan tanpa dimudahkannya akses terhadap kesejahteraan oleh para pemimpin tersebut.
Semua orang – orang Aceh wajib kaya agar tidak ada lagi orang – orang tua dan anak – anak yang berdiri dipinggir – pinggir jalan meminta sumbangan dari pengguna jalan untuk pembangunan rumah ibadah, untuk pembangunan sarana pendidikan agama, semuanya bisa dibangun sendiri dengan mandiri tanpa melalui proposal kepada pemerintah dan tanpa melalui sumbangan dari rumah kerumah, dari warung ke warung, dari rumah makan kerumah makan yang sangat mengganggu kenyamanan diruang – ruang publik.
Ketika orang – orang Aceh saat ini dikondisikan sebagai rakyat yang menderita didunia, namun bahagia di akhirat, maka orang – orang Aceh harus kaya untuk membalikkan kondisi ini menjadi bahagia didunia dan bahagia di akhirat, dimana dengan kekayaanya tersebut bisa menghadirkan surga didunia dan bisa bepergian kemanapun ketempat yang manusia sangat dihargai sebagai manusia, manusia dihargai sebagai makhluk yang berbahagia, bukan sebagai makhluk yang paling berdosa.
Ada sebuah rumus kehidupa didunia yaitu kurva yang dibalik atau lonceng, dimana manusia dibagi kedalam tiga bagian yaitu 10 persen orang kaya, 10 persen orang pintar dan 80 persen orang umum, atau orang biasa. Orang umum atau orang biasa yang 80 persen ini berada ditengah, sedangkan dikirinya 10 persen orang kaya dan dikananya 10 persen orang pintar. Mungkin Aceh dengan segala kehidupannya saat ini adalah orang – orang umum yang 80 persen tersebut sedangkan orang kaya yang 10 persen tersebut dan orang pintar yang 10 persen tersebut tidak ada di Aceh, sehingga Aceh selalu terombang – ambing dengan isu – isu agama, isu – isu kekhusunan yang ada dalam skema 80 persen tersebut. Orang – orang kaya yang ada di Aceh dan orang – orang pintar yang ada di Aceh, jika dilihat dari luar Aceh, mungkin justru berada dalam 80 persen orang – orang umum tersebut, artinya mereka juga larut dalam isu -isu 80 persen orang tersebut tanpa pernah bisa memberi pencerahan apapun di Aceh.
Orang – orang Aceh adalah orang yang saat ini tidak merdeka sebagai manusia dan juga tidak merdeka sebagai warga negara, kekhususan bukanlah sebuah kemerdekaan tetapi sebuah ujian bahwa manusia tidak merdeka dengan agama yang dipraktekkan melalui kebijakan – kebijakan yang keliru. Oleh karena itu, agar merdeka sebagai manusia maka orang – orang Aceh harus kaya sehingga menjadi manusia – manusia seutuhnya (insan kamil) yang dengan kekayaannya bisa memenuhi segala aspek zahir dan batin, mental dan spiritual, bisa merasakan bahwa dunia itu dinamis, mengalir, tidak kaku dan bukan penjara.