“TULISAN” YANG MENJAUHKAN MANUSIA DARI TUHAN DAN “TUTURAN” YANG MENDEKATKAN MANUSIA KEPADA TUHAN


Tulisan bukanlah sumber pertama atau sumber utama pengetahuan manusia dan bukanlah asal sumber pengetahuan manusia. Sumber pengetahuan manusia pertama dan asal sumber pengetahuan manusia adalah tuturan/ucapan, bukan bacaan dan tulisan. Plato, menganggap tulisan adalah  “kekerasan Arketipal”  (archetypal violence), terhadap jiwa. Dalam pandangan Plato, “jiwa manusia dan ingatan sesungguhnya abadi, seabadi arketipe – arketipe yang menjadi sumber pengetahuannya”. Tulisan sebaliknya, membuat ingatan manusia itu menjadi sementara (ephemeral), karena ketika seseorang menulis, ia sebenarnya telah mengalihkan sebagian dari ingatannya dalam bentuk material. Tulisan mematerialkan pengetahuan arketipal yang transenden dan abadi. Adanya tulisan akan membuat manusia enggan mengingat dan menggunakan sepenuhnya memorinya. Dengan merekam pengetahuan kedalam tulisan, ingatan kehilangan sebagian besar fungsinya. 

Arketipe (Arketipal) adalah sebuah gagasan dari Plato, berasal dari bahasa Yunani arkhe , yang berarti "primitif" atau "pertama," dan tupos, yang berarti "model. Sedangkan makna arketipal berdasarkan filsafat Plato adalah : Manusia selaku titah atau makhluk wajib berusaha dengan maksimal, sedangkan sukses atau tidak usaha dimaksud ditentukan oleh Yang Maha Kuasa”. Manusia selaku “titah” adalah manusia yang ada, tergerak, berubah karena ada titah, ucapan, tuturan dari Yang Maha Kuasa atau dari segala yang merepresentasikan Tuhan. Ucapan, tuturan ini dalam perjalanan selanjutnya menjadi sabda, firman, fatwa dari Yang Maha Kuasa, Yang Maha Suci atau dari lainnya yang juga merupakan Tuhan, tuturan/ucapan dari yang absolut dan mutlak inilah yang menentukan takdir manusia, dan ini tidak berlaku untuk tututan/ucapan antara satu manusia dengan manusia lainnya yang sama-sama setara, tetapi dari dimensi yang lebih tinggi dari manusia-manusia umumnya.


Tuturan ini, karena ketidak mampuan semua manusia untuk mengaksesnya, untuk mendapatkannya dan untuk bisa mendengarkannya secara lansung (primordial), maka kemudian dituliskan, sehingga menjadi “kitab suci” atau kitab yang dianggap suci karena ketika dituliskan dianggap berasal dari sumber pertama tuturan itu diucapkan dan dianggap tuturan itu telah berhenti pada masa sumber utama itu diucapkan, sehingga agar tidak hilang maka dituliskan. Padahal tuturan itu abadi dan ada sepanjang zaman sampai kapanpun dan agar manusia bisa berubah, maka manusia harus berjumpa dengan tuturan, ucapan tersebut. Dan itu berarti bahwa yang paling utama adalah tuturan tersebut, yang juga masih ada ketika semua sudah dituliskan dan apa yang telah dituliskan tersebut dibaca berulang – ulang bahkan dihafal, tentunya tidak membawa dampak apa-apa kepada manusia, karena yang seharusnya memberikan titah atau yang mentitahkan sesuatu kepada manusia adalah dari “sosok”, bukan dari “tulisan”.


Source : Google

Dalam pemaknaan Platon tersebut, arketipal ini juga bermakna bahwa semua manusia bisa berusaha dengan segala pengetahuannya dan mencoba menyelesaikan semua tantangan kehidupannya dengan pengetahuan, dengan segala cara, dengan segala jalan yang dituliskan, namun sukses atau tidak usaha tersebut bukan melalui pengetahuan yang dimiliki manusia, maupun pengetahuan yang dituliskan manusia, tetapi ditentukan oleh “Titah” (firman, fatwa, sabda) Tuhan yang disampaikan melalui “tuturan”nya kepada manusia, melalui perkataan, bukan melalui tulisan. 

 

Ini dapat bermakna juga bahwa segala jalan keluar bagi kesuksesan manusia, kehebatan manusia dan jalan keluar bagi segala persoalan manusia, bertahan dan survive manusia bukanlah dari teks-teks kitab suci atau tulisan-tulisan kitab suci, tetapi dari “titah” melalui tuturan yang disampaikan lansung kepada manusia dan didengar lansung oleh manusia disetiap zaman dan disetiap waktu, kapanpun dan dimanapun bahkan sampai hari ini pasti ada “Titah” yang bisa didengar lansung oleh manusia dan ini menjadi tantangan bagi manusia yang hidup saat ini untuk menemukannya, karena sebagian besar manusia menganggap bahwa teks-teks tertulis adalah segala – galanya, padahal sejatinya, hakikatnya tuturan, ucapan dari yang absolut yang bisa didengar oleh manusia adalah segala-galanya. 

Dalam pengetahuan kini, ini disebut dengan fonosentrisme yaitu : “ bahwa bunyi dan ucapan lebih unggul dan lebih utama daripada bahasa tertulis. Ucapan memiliki kedudukan yang lebih penting dibandingkan tulisan dalam proses komunikasi dan pemaknaan. 

 

Dalam “Phaedrus”, (sebuah karya Plato, yaitu sebuah dialog antara protagonist Plato, Socrates, dan Phaedrus.  Phaedrus diyakini dikomposisikan sekitar tahun 370 SM, sezaman dengan Republic dan Symposium. Adalah teks yang kaya dan penuh teka-teki. Yang membahas berbagai masalah penting filsafat : metafisika, filsafat cinta dan hubungan bahasa dengan realitas, terutama yang berkaitan dengan realitas, terutama yang berkaitan dengan praktik retorika dan penulisan). 

 

Plato mengetengahkan dialog antara Hermes, sang penemu tulisan, dengan raja Thamus. Hermes memperkenalkan temuannya itu kepada Thamus dan menganjurkan sang raja agar mulai menggunakan tulisan. Tetapi Thamus menolak, karena dia cemas bila manusia harus menulis, mereka akan malas menghafal dan menelantarkan ingatannya. Bagi Plato, munculnya tulisan telah merusak fungsi ingatan dan jiwa sebagai cermin kebenaran. Sebagaimana Sokrates, Plato sangat anti tulisan dengan mengasumsikan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui tuturan dan kehadiran absolut. Titik tekan filsafat dalam konsepsi Platonis adalah pada dialog, yang tidak lain merupakan perjumpaan dua bentuk tuturan. 

 

Penolakan Plato terlihat lansung dari asumsinya tentang superfisialitas tulisan. Tulisan hanya dianggap sebagai Teknik yang menggantikan ingatan (minemotechnic) atau merepresntasikan ingatan yang spontan dan tidak abadi – ingatan yang rapuh oleh gerusan waktu. Plato membandingkan tulisan sebagai sebuah memo (hypnomnesis) yang berfungsi sewaktu – waktu untuk mengingatkan kita, namun tidak diperlukan sepanjang ingatan kita masih sehat (mineme).

 

Sejarah tulisan bagi Plato adalah sejarah Teknik yang mengindikasikan bahwa tulisan memilik fungsi instrumental yang tidak esensial dan fundamental dalam struktur pengetahuan manusia. Dengan demikian peralihan dari tuturan ke  tulisan dengan sendirinya berarti kejatuhan pada eksterioritas dan Teknik : “sebentuk degradasi nilai dari yang abstrak ke yang material, dari spiritualitas ke teknikalitas, dan merosotnya kedudukan jiwa/kesadaran menjadi ketaksadaran, ketidakhadiran absolut”.

 

Akan tetapi, dengan mendepak tulisan keluar sejarah metafisika, tidak berarti Plato benar – benar melenyapkan fungsi tulisan dalam filsafat. Tulisan hanya direduksi menjadi teknik, tetapi fungsinya diambil alih dengan memataforkan sebuah “tulisan alami” (natural writing) yang primordial dan merupakan origin  dari tuturan. Inilah ironisnya, meskipun sejarah metafisika berupaya mengeksklusi tulisan, tulisan tidak sepenuhnya ditolak. Tetapi diubah dan di transendensikan sedemikian rupa sebagai “tulisan alami”. Logosentrisme semacam ini “berwajah ganda” : ia tidak menampik kehadiran tulisan melainkan hanya menundanya. 


Source : Google

Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang linguis Swiss yang terkenal karena kontribusinya dalam bidang linguistik dan bahasa dan dianggap sebagai salah satu pendiri linguistik modern dan telah mempengaruhi banyak pemikir dan ahli bahasa di seluruh dunia), membedakan antara bahasa (langue) dan ujaran (parole). Bahasa adalah sistem simbolis yang terdiri dari suara, kata, dan aturan gramatikal yang digunakan oleh sebuah komunitas untuk berkomunikasi. Sementara tuturan adalah penggunaan konkretnya dalam konteks tertentu. Dengan demikian, bahasa adalah abstrak, sementara tuturan adalah konkret. Konsep ini membuka jalan untuk pemahaman bahwa bahasa bukanlah sekadar kumpulan kata-kata, tetapi sebuah sistem yang terorganisir.

Saussure menganggap bahwa tulisan sebagai ancaman terhadap “sistem internal languge”. Tulisan menurut filosof ini adalah “tirani”. Operasionalisasi dan cara kerja tulisan melahirkan kesimpang-siuran dalam praktek penulisan alpabetik dan sekian penyimpangan fonetik dari aksara grafis. Semua itu sudah cukup membuktikan bahwa tulisan tidak bisa dipercaya. Kata Saussure : “kita harus berhati-hati menghadapi bentuk tertulis itu”.

ketidak percayaan ini berasal dari distorsi – distorsi  yang diyakini oleh Saussure sebagai kenyataan yang inheren dalam tulisan. Distorsi paling utama adalah efek patologis tulisan yang membangkitkan hasrat bagi tubuh untuk mengartikulasikan dirinya. Seseorang yang menulis akan terbiasa memikirkan sesuatu yang tidak berani dia kemukakan secara lisan. Contonya, seseorang yang sedang kasmaran karena jatuh cinta, mungkin akan lebih memilih menuliskan perasaannya diatas sebidang tulisan, ketimbang mengungkapkannya secara terus terang. Tulisan, dengan demikian, menyembunyikan sesuatu yang mungkin akan terdengar memalukan dan melanggar moral. Tulisan menyelubungi kondisi objektif sesuatu dengan mengaburkan dan menyamarkannya agar tidak diketahui.

Ketika semua narasi ini kita bawa dalam konteks kehidupan manusia saat ini, yang kebanyakan manusia digerakkan oleh agama, masih menjadikan agama sebagai jalan hidupnya dan meyakini bahwa apa yang telah tertulis dalam kitab suci sebagai panduan bagi hidupnya, jika manusia terus menerus hanya bersandar pada yang tertulis tersebut tanpa pernah mendengar “tuturan, ucapan” dari yang punya teks tersebut, maka itu justru semakin menjauhkan manusia dari  yang mutlak dan absolut (Tuhan) dan itu telah merampas keabadian manusia untuk terus hidup bersama Tuhan, namun jika manusia bersandar dan hidup dari Tuturan, ucapan dari yang mutlak dan absolut tersebut maka  semakin mendekatkan manusia pada Tuhan karena senantiasa selalu dalam keabadian bersama Tuhan, selalu mendengarkan ucapan Tuhan  dan jika manusia senantiasa terus menerus mengulang – ulang apa yang tertulis tersebut maka secara sumberdaya itu akan menjadi penghalang bagi perubahan revolusioner manusia untuk maju dan berkembang karena akan menjadi sebentuk degradasi nilai bagi manusia dari spiritualitas ke teknikalitasTeknikalitas hanya melahirkan ritualitas, bukan spiritualitas, bukan substansi, hanya aksesoris saja.

 

Namun, yang lebih kongkrit dan sangat mencerahkan bagi manusia – manusia yang hidup saat ini adalah ketika saat ini manusia bisa berjumpa dengan “yang punya otoritas bertutur secara mutlak dan absolut sebagai rujukan pengetahuan manusia” dan kemudian “ yang punya otoritas bertutur secara mutlak dan absolut” tersebut menuliskan semua titah dan firmannya tersebut kedalam tulisan yang Dia tulis sendiri, maka “ Plato” dan “Saussure” akan merubah semua yang telah dirumuskannya tersebut dan menjadi pengikut  “yang punya otoritas bertutur secara mutlak dan absolut” tersebut. 

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :