Tjoet Nja' Dhien, Rekayasa Cinta Teuku Umar dan Pengkhianatan Bangsa sendiri (113 tahun Wafatnya Cut Nyak)

Cut Nyak Dhien adalah tubuh yang diakhir hayatnya tidak pernah bersemayam di rumahnya sendiri yaitu Aceh. Sebagai sebuah bangsa yang tidak pernah berhenti berperang, Aceh tidak pernah punya sedikitpun keberanian untuk membawa pulang kembali jasad wanita perkasa ini dari pengasingan kerumah asalnya. 6 November 1908, 113 tahun lalu, tubuh wanita bangsawan, pemimpin perang dan sosok ibu yang tidak pernah mau tunduk kepada kolonialis ini wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat. Makamnya baru diketahui secara pasti pada tahun 1960 atau 50 tahun setelah kematiannya. 

Penulis ketika berziarah ke Makam Cut Nyak Dihien
Penulis di Makam Cut Nyak Dhien - Docs 2015.
Perjuangan Cut Nyak ini membuat kagum Ny. Szekly Lulof, seorang penulis dan sejarawan Belanda yang kemudian menabalkan gelar “Ratu Aceh” kepada Cut Nyak.

Tidak ada kata menyerah dalam sejarah hidupnya, menyerah atau berdamai dengan penjajah adalah sebuah aib besar. Cut nyak begitu murka kepada Pang Laot Ali, yang dengan dalil sayang kepada Cut nyak, kemudian menyerahkan Cut Nyak kepada belanda, sikap Pang laot yang tidak sampai hati melihat Cut nyak yang sudah rabun dan sakit-sakitan adalah pengkhianatan terbesat, paling disesali dan tidak bisa diampuni sampai akhir hayat Cut nyak, sampai akhir hayatnya, Cut Nyak tidak pernah mau menerima alasan itu.

Dalam sebuah gerakan perlawanan, bahkan sampai di detik-detik akhir ketika tersudut dan terdesak, dalam sejarahnya selalu dihampiri oleh dua hal yaitu kesetiaan dan pengkhianatan. Kesetian adalah tidak tunduk sampai akir hayat, sampai tetes darah terakhir, sedangkan pengkhianatan adalah tunduk sebelum semuanya berakhir, tidak tahan menderita dan takut pada kematian. Inilah yang dialami Cut Nyak ketika itu, batinnya yang tembus pandang karena kejernihan perjuangannya saat itu menangkap bahwa pengkhianatan itu sangat dekat denganya :

Aku tidak mengerti, terbuat dari apa hati orang yang berkhianat, dan itu terus berulang, kekalahan demi kekelahan yang kita alami, semua karena pengkhinatan orang kita sendiri. Aku mencium bau busuk disekeliling kita, Pang Laot, jangan merasa bersalah, ini semua tidak terjadi jika diantara kita tidak ada yang berkhianat, aku sudah mempunyai firasat, dan jalan terselubung dibalik mataku yang sudah rabun ini, hati dan rasaku tidak buta, aku yakin pengkhiatan itu ada diantara kita, aku mencium pengkhinatan disini.

Pengkhianatan adalah musuh abadi Cut Nyak, istri dari Teuku Ibrahim Lamnga ini bahkan membunuh beberapa pengkhianat dengan tangannya sendiri, seperti membunuh Teuku Leube dan Fatma, seorang perempuan yang karena suami dan anaknya ditawan Belanda  dia memberitahukan tempat persembunyian Cut Nyak. Namun, Cut Nyak juga pernah melepaskan seorang tentara Belanda yang terluka dan tertangkap dalam sebuah penyergapan :

“kalau aku mau membunuhmu, itu sangat mudah di lakukan, tapi bukan itu tujuan kami, apa yang kalian inginkan dariku, seharusnya kalian malu telah mengotori negeri kami ini, katakan itu pada pemimpin kalian, sekarang kau boleh pergi anak muda, sebelum aku merubah pikiranku”

Prajurit Belanda yang dilepaskan itu, akhirnya juga mati ditangan bangsanya sendiri, dia dianggap berkhianat lalu dibunuh karena tidak pernah mahu memberitahukan dimana lokasi persembunyian Cut Nyak saat dia ditangkap tersebut, mungkin secara moral dia menyesal untuk ikut berperang melawan sosok hebat seperti Cut Nyak dan sangat kagum pada Cut Nyak.

Pengkhiatan Pang Ali bagi Cut Nyak adalah sebuah keimanan yang rapuh dan sangat memalukan, di tengah hujan deras, di detik-detik penangkapannya oleh Belanda,  Cut Nyak mengatakan itu secara lantang kepada pengikutnya :

“…jika kalian punya keimanan yang rapuh seperti Pang Laot itu, aku ikhlaskan kalian untuk pergi sekarang juga, tapi jika kalian memilih bersamaku disini, maka hanya ada satu pilihannya, jihad fisabililah…”.

Detik-detik akhir itu juga, Cut Gambang, putri tercinta Cut Nyak , diperintahkan untuk meninggalkannya, namun Gambang memohon dan memelas kepada Cut Nyak untuk tetap ikut berperang dan syahid bersama Cut Nyak, namun tidak dizinkan oleh Cut Nyak dan memerintah putrinya untuk pergi, bergabung bersama keluarga pejuang lainnya di Tangse dan untuk memberitahukan perjuangan Cut Nyak kepada mereka,:  

“pergilah engkau, ini perintahku sebagai ibu dan sebagai pemimpin kalian”,

dengan segala kepiluan yang mendalam, Cut Gambang meninggalkan Cut Nyak dalam segala penderitaan yang harus ditanggungnya tersebut.

Sejarah keteguhan seperti yang dilakukan Cut Nyak ini adalah kisah tidak menyerah sampai kematian datang, pesan Cut Nyak ini sama dengan pesan Imam Husein, kepada pengikutnya  ketika 4000 pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash menyerbu rombongan Husein yang hanya berkekuatan 72 orang, 32 orang prajurit berkuda dan 40 orang pejalan kaki, selebihnya terdiri dari anak-anak dan perempuan. Sebelum penyerbuan itu, Husein berkata kepada pengikutnya : “hari ini, kalian kuizinkan untuk meninggalkan aku, namun jika kalian memilih bersamaku, maka saksikanlah aku berkata :

“  jika demi tegaknya agama Muhammad aku harus kehilangan nyawaku, maka, wahai pedang sambutlah kematianku ”.

 Kematian dalam perjuangan bagi Cut Nyak, mungkin seperti spirit yang diucapkan Ali bin Abi thalib ketika bicara kematian :

“entah aku yang menjemput kematian, entah kematian yang menjemput aku”.

Cut Nyak dan Rekayasa Cinta Teuku Umar

Sebagai seorang perempuan yang berwatak keras, teguh dan pantang menyerah, Cut Nyak ternyata juga punya kisah cinta menarik. Suami pertama Cut Nyak adalah Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari Teuku Ujong Arun atau sering dipanggil dengan Imam Lamnga, seorang Uleebalang  dari Mukim XII Sagi XXVI, yang kekuasaannya membentang hingga ke ujung Pulau Weh Sabang. 

Seperti yang dialami Cut Nyak, selain melawan belanda, perjuangan Teuku Ibrahim Lamnga adalah juga perjuangan melawan pengkhiatan bangsa sendiri. Pengkhiatan itu dilakukan oleh Teuku Neh Meuraksa yang mendukung belanda agar kekuasaanya tidak diganggu. 

Pada malam tanggal 28 Juni 1878, Teuku Ibrahim Lamnga, Teuku Rajoet, dan Panglima Nyak Man syahid dan dimakamkan di masjid Montasik, Aceh Besar. Kematian suaminya ini membuat Cut Nyak marah besar dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. 

Cut Nyak berjanji untuk bersedia menikah dengan laki-laki yang dapat membantunya membalaskan dendam suaminya, namun hal itu tidak kunjung datang dalam waktu yang lama, sehingga selama itu, Cut Nyak memimpin sendiri perjuangan melawan Belanda. Hari –hari yang dilaluinya itu Cut Nyak terus diliputi kegelisahan, menemukan seorang suami yang dapat membantunya berjuang melawan belanda.

Akhirnya bertemulah Cut Nyak dengan seorang pria dari Meulaboh yaitu Teuku Umar. Cut Nyak bertemu untuk pertama sekali dengan Teuku Umar ketika upacara penguburan jenazah Teuku Ibrahim Lamnga. Dari pandangan pertamanya, Teuku Umar lansung jatuh hati kepada Cut Nyak. Dengan segala keberaniannya, Teuku Umar berkata kepada Cut Nyak :

"Saya bersedia menjadi panglima perang pasukan ini. Namun, dengan syarat Cut Nyak bersedia menjadi istri saya,".

Cut Nyak Dien terkejut mendengar pernyataan itu dan menolak menolak mentah-mentah lamaran Teuku Umar. Pupus harapan Teuku Umar ketika itu, dia hanya bisa menghela nafas dalam-dalam akibat cintanya ditolak. Umar tidak menerima begitu saja cintanya ditolak. Karena begitu besar cintanya kepada Cut Nyak, Teuku Umar kemudian merekayasa sebuah cerita untuk meluluhkan hati Cut Nyak. 

Rekayasa itu diawali ketika pada suatu hari Cut Nyak sedang melatih pasukan perang berpedang, tiba-tiba lokasi itu diramaikan dengan kedatangan orang-orang  yang menandu Teuku Umar dalam keadaan berlumuran darah, padahal itu hanya rekayasa Teuku Umar. 

Terjadi dialog diantara mereka berdua.

Cut Nyak : “kenapa ini, ada apa ?”

Teuku Umar    : “ Saya mau pulang…”

Cut Nyak         : “ Jangan begitu, kita obati dulu, harus kita obati ini, jangan putus asa begitu”

Teuku Umar : “ Biar saya mati saja, Cut Nyak pun menolak cinta saya”

Cut Nyak : “Kita obati dulu, nanti baru kita urus yang itu”


Teuku Umar : “ Tak apa Cut Nyak, obat saya adalah Cut Nyak,  Cut Nyak beri saja obat itu ke saya”.

Setelah beberapa hari, Teuku Umar kemudian sembuh dari luka itu. Dia pun menagih janji ke Cut Nyak. Karena merasa berjanji, Cut Nyak Dien akhirnya memenuhi janjinya dan menikah dengan satu permintaan diikutkan dalam perang melawan Belanda. Belakangan Cut Nyak curiga dengan luka Teuku Umar. Akhirnya Teuku Umar berkata jujur bahwa itu rekayasa dan mereka berdua pun tertawa.

Kisah cinta Cut Nyak dan Teuku Umar setelah itu adalah kisah-kisah perang dan gerilya, juga kisah pengkhianatan Teuku Umar yang juga membuat Cut Nyak sangat marah, sekalipun bagi Umar itu adalah sebuah rekayasa. Teuku Umar syahid pada 11 Februari 1899, saat itu Cut Gambang, putri Cut Nyak dan Teuku Umar menangis atas kematian ayahnya tersebut, lalu Cut Nyak berkata dengan keras kepada putrinya :

“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid "

Paska kematian Teuku Umar hingga sampai akhirhayatnya. Cut Nyak kembali sendiri memimpin perlawanan melawan belanda. Pada Cut Nyak, kita belaajr keteguhan perjuangan. Kematian adalah dimensi, hanyalah sebuah perpindahan. kematian adalah kegembiraan bagi manusia. Bagi sebagian manusia, kematian adalah kesedihan dan ketakutan, namun bagi para Sufi, kematian adalah perayaan dan penyambutan. Demikian halnya dalam cinta, disana ada pengkhiatan dan juga kesetiaan. Bagi pengecut, cinta adalah pengkhiatan, bagi orang yang berani, cinta adalah kesetiaan sampai akhir. 


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :