“Benar”, “Kebenaran” dan “Sufi”

Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman 

Manusia beragama benar adanya, namun itu bukanlah kebenaran,  ketika manusia tidak mengenal Tuhan, maka benarnya itu bukanlah sebuah kebenaran, hanya benar dalam defiinisi, bukan sebenarnya. Tuhan tidak butuh agama, manusia yang butuh agama untuk mengenal Tuhan, namun manusia sedemikian sibuknya manusia beragama sehingga lalai dan lupa kepada Tuhan. Manusia yang tidak beragama, manusia yang tidak percaya Tuhan, maka itu benar saja, namun itu juga bukanlah sebuah kebenaran. Tidak beragama dan tidak percaya Tuhan benar menurut manusia yang meyakini itu, namun ketika dia mempermasalahkan orang yang beragama dan percaya Tuhan, maka dia belum berada di level kebenaran. Demikian sebaliknya, manusia yang beragama dan percaya Tuhan, tetapi mempermasalahkan dan mencari-cari kesalahan manusia yang tidak beragama dan tidak percaya Tuhan apalagi dengan justifikasi aqidah, maka dia juga belum berada pada level kebenaran. Kebenaran itu, tidak akan mempermasalahkan lagi apapun, karena dia telah berada dipuncak tertinggi.


Benar dan Kebenaran adalah sesuatu yang sangat berbeda. Benar, belum tentu dan belum pasti sebuah kebenaran, sedangkan kebenaran adalah benar yang sesungguhnya. Manusia sering sekali terjebak pada wilayah “benar” ini, ketika manusia berada di level ini, manusia lansung merasa sudah mendapatkan kebenaran sejati, bahkan lansung merasa menjadi Tuhan bagi manusia lain, padahal kebenaran yang dia pegang dan dia dapat hanyalah kebenaran dari manusia,  dan itu adalah “kebenaran” yang sangat rapuh, karena benar diperkataan, bukan benar yang dirasakan. Benar diperkataan adalah benar yang didapat dari manusia, benar yang hanya bermain diwilayah akal dan fisik, sedangkan kebenaran sejati adalah kebenaran yang didapat lansung dari Tuhan, kebenaran yang sudah bermain di wilayah ruh, jiwa. Dalam tasawuf, kebenaran yang didapat dari Tuhan adalah melalui jalur silsilah (Wasilah), yang estafetnya terus berjalan sampai hari ini, karena bergurunya adalah berguru zahir dan batin (ruhani), kebenaran yang lansung didapat dari asalnya, bukan dari penafsiran-penafsiran manusia.

Benar (true), bukanlah sebuah kebenaran (truth). Benar adalah sesuatu yang masih  bersifat subjektif, relatif, sesuatu yang hanya berdasarkan perkataan, kesepakatan, argumentasi. Sedangkan kebenaran (truth) adalah berada secara otoritatif pada dirinya sendiri, mutlak dan absolut, puncak dan tertinggi, tidak ada lagi seteah itu. Benar adalah juga kondisi, keadaan atau gambaran yang diyakini sebagai sesuatu yang benar, padahal itu bukanlah sebuah kebenaran. Contohnya, ketika sebagian masyarakat percaya, meyakini dan mengimani bahwa haram adanya musik dipesta-pesta pernikahan, maka itu adalah benar, namun itu bukanlah sebuah kebenaran, atau ketika tidak dibolehkannya konser musik, dan lainnya maka itu benar (berdasarkan kesepakatan) namun itu bukanlah kebenaran. 

Benar itu hanya pancaran dari kebenaran. Kebenaran adalah proyektor, sedangkan benar hanya proyeksi dari proyektor. Proyeksi adalah hasil pancaran dari proyektor, jika proyektor dimatikan, manusia tidak akan pernah mendapatkan kebenaran. Ketika manusia tidak mengenal Tuhan, maka manusia tidak akan pernah mendapatkan kebenaran. Sehingga manusia yang sudah sampai kepada tahap kebenaran, maka dia tidak perlu pembuktian lagi, karena sudah berada dalam posisi sebagai pemegang proyektor, posisi yang dengan proyektornya itu memberikan proyeksi. Kalau kita masih dilevel proyeksi, maka masih berada pada level yang memerlukan pembuktian, belum mendapatkan sesuatu yang absolut.

Lalu, dimanakan posisi sufi?, bukankah kebenaran sufi itu juga kebenaran subjektif ?, benar menurut dirinya sendiri ?, tidak. Sufi adalah insan yang sudah menemukan Tuhan, ketika sudah bertemu Tuhan, maka dia telah bersama kebenaran, benar adalah Haqq, merupakan nama dari Allah Al-Haqq (Maha Benar), sehingga tidak peduli lagi pada pembicaraan manusia yang mempermasalahkan kebenaran yang telah didapatnya. Kebenaran bagi sufi tidak butuh lagi argumentasi, tapi sudah larut dalam merasakan kebenaran dan berada dalam kebenaran tersebut, sehingga apapun yang dilihatnya adalah keindahan. Ketika sudah menemukan kebenaran (Tuhan), maka tidak perlu lagi dalil, maka kita sering menemukan disekitar kita, sedikit-sedikit minta dalil, sebentar-sebentar bicara dalil. Ketika bersama Tuhan, maka tidak ada lagi dalil apapun, karena Tuhan adalah dalil tertinggi.  Kalau kita menemukan manusia-manusia yang selalu meminta dalil, maka percayalah bahwa sampai kiamat pun dia belum menemukan kebenaran, tetapi selalu sibuk dengan "pembenaran-pembenaran". Bertuhan berdasar dalil, bukan ber Tuhan berdasarkan penghambaan. 

Dalam konteks ini, maka sufi itu tidak lagi lalai dan sibuk mempermasalahkan apakah orang shalat atau tidak, beragama atau tidak, karena tidak ada lagi sama sekali kegelisahan, karena kebenaran itu selalu menentramkan, selalu menenangkan, selalu damai, tidak tidak ada yang dikhawatirkan kecuali kehilangan cinta Tuhan. Orang yang sudah menemukan kebenaran, dan sudah bersama Tuhan, dia tidak pernah khawatir, tidak pernah susah, tidak pernah gelisah dan tidak pernah marah pada manusia-manusia yang percaya Tuhan atau tidak, pada manusai yang mau beragama atau tidak, shalat atau tidak. Manusia yang sudah berada di kebenaran, sudah sibuk bersama Tuhannya dan selalu berbuat baik untuk manusia, tidak sempat lagi mempermasalahkan orang-orang mau shalat atatu tidak, percaya Tuhan atau tidak, mau puasa atau tidak, karena menyibukkan diri pada model-model seperti ini adalah sebuah kesia-siaan, sibuk mempermasalahkan manusia beribadah atau tidak, sedangkan Tuhan tidak pernah tahu ada dimana. 

Benar itu masih butuh pengakuan, sedangkan kebenaran tidak perlu lagi pengakuan apapun. Benar adalah masih perjalanan menuju puncak sedangkan kebenaran ada dipucak tertinggi, kebenaran sejati adalah tempat yang dituju. manusia belum mendapatkan kebenaran sebelum manusia menemukan yang Haqq itu. Mereka larut bersama Allah, tidak mencari-cari lagi kebenaran. Manusia yang telah bersama Al-Haqq  maka tidak akan bisa menemukan lagi kesalahan-kesalahan pada manusia lain, dia sudah bicara pada kehadiran dan ketidak hadiran cahaya Allah. Karena kebenaran adalah Tuhan, maka dia berada pada realitas tertinggi, berada pada puncak tertinggi, ma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran, maka berada disisi Tuhan, berada bersama Tuhan adalah kebenaran, mau mencari kebenaran apalagi ?

Syariat adalah benar, sedangkan tarekat, hakikat, makrifat adalah kebenaran. Benar itu belum tentu kebenaran. Syariat, sebagai sesuatu yang benar, jika tidak dilanjutkan perjalanannya, maka tidak akan pernah mendapatkan kebenaran sejati, yaitu Al-Haqq (Yang Maha Benar).  Fiqih adalah benar, faqih adalah benar, tetapi tasawuf, para arif (Sufi) adalah kebenaran. Fiqih, sebagai sebuah wujud dari implementasi syariat, hanya berada diwilayah argumentatif, hanya berbicara sah atau tidak sah sebuah ibadah, sedangkan diterima atau tidak diterimanya ibadah, fiqih tidak punya otoritas dan kapasitas dan hanya Wali Allah (melalui tarekat) yang punya kapasitas dan otortas mengetahui diterima atau tidaknya ibadah, karena Wali Allah itu selalu bersama Allah. 

Kebenaran bukanlah sebuah perkataan, tetapi dirasakan. Merasakan kebenaran itu bukan seperti merasakan angin yang berhembus kekulit kita yang datang dan pergi, kebenaran itu, ketika ditemukan, dia akan menetap dan tidak akan pernah pergi lagi, manusia yang telah menemukan kebenaran, maka tidak lagi mencari-cari kesalahan manusia-manusia lainnya. Manusia yang merasa benar, padahal benar yang hanya didenagr dari perkataan (beum merasakan) pasti akan selalu mencari-cari kesalahan, berikhtiar sekuat tenaga untuk mencari-cari kesalahan manusia lainnya. 

Manusia yang telah menemukan  kebenaran dengan manusia yang masih berada pada level benar berbeda, belum menemukan kebenaran, tentu belum menemukan Tuhan, sekalipun ketaatannya melebihi ketaatan Azazil ketika disurga, buktinya, dia akan selalu gerah, selalu gelisah, dan selalu mempermasalahkan perkara-perkara moral dan aqidah manusia, gerakan dakwah yang dilakukannya adalah gerakan dakwah untuk memperoleh pengakuan manusia, bahwa dia adalah benar dan itu adalah kebenaran, sangat tidak percaya diri, sangat takut jika manusia tidak menyatakan dia benar, sedangkan manusia yang telah menemukan kebenaran, maka cukuplah Allah baginya, karena jika manusia setia kepada Allah, maka dia akan memperoleh cinta, sedangkan jika manusia setia kepada manusia, maka dia hanya memperoleh cinta manusia, tidak pernah memperoleh cinta Allah. 



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :