SIAPAKAH MANUSIA ?

 T. Muhammad Jafar Sulaiman 

Manusia, kalau dia mengenal Tuhan disebut insan, kalau tidak mengenal Tuhan dia tidak disebut insan, dia hanya disebut manusia. Jalaluddin Rumi berkata, jika aku mati sebagai manusia, maka para malaikat akan datang dan mengajakku terbang kelangit tertinggi. Dan ketika aku mati sebagai malaikat, maka siapa yang akan mendatangiku ?. Karena itu matilah sebagai malaikat, jangan mati sebagai manusia. Pertanyaan Rumi ini hanya bisa dijawab oleh manusia yang sudah makrifat dan sudah menjadi malaikat, tidak mungkin bisa dijawab oleh Manusia yang masih dilevel syariat dan masih menjadi manusia. 


Manusia itu adalah makhluk pelupa dan juga makhluk jinak. Asal kata manusia dalam bahasa Arab adalah nasiya, yang berarti lupa. Sedangkan akar katanya adalah al-uns yang berarti jinak. Nabi Adam tidak disebut sebagai manusia pertama, karena pasti ada banyak manusia lainnya selain Adam, tetapi Adam adalah Insan pertama, manusia pertama yang mengenal Tuhan (jinak dengan Tuhan) sekalipun kemudian diusir dari Surga. Setelah diusir dari Surga, Nabi Adam terus memohon ampun kepada Tuhan selama puluhan tahun, selama itu pula Adam tidak pernah diampuni, sampai suatu ketika Adam menyebut nama Muhammad dalam doanya, seketika itu juga Adam lansung diampuni oleh Tuhan.  


Lupa dan jinak disini, kaitannya adalah antara manusia dengan Tuhan, bukan pada sifat lupa atau jinaknya manusia itu sendiri. Liar dan Jinak ini hanya bisa dibicarakan pada manusia dilevel hakikat dan makrifat, sedangkan manusia yang masih berada di tingkatan syariat, dia akan terus lupa dan jauh dengan Tuhan, karena tidak kenal dengan Tuhan, dan tidak akan mungkin kenal denagn Tuhan sebelum beranjak dari tingkatan syariat kepada tarekat, karena tarekat punya metode, jalan kenal dan berhampiran dengan Tuhan. 



Source : Google 

Level manusia itu dibedakan pada tiga tingkatan, tidak kenal Tuhan, kenal Tuhan dan selalu bersama Tuhan. Tidak kenal Tuhan, maka tidak mungkin manusia bisa selalu bersama dengan Tuhan dan bisa selalu berhampiran dengan Tuhan, mustahil. Manusia yang sudah mengenal Tuhan, maka dia punya jalan untuk bisa selalu bersama dengan Tuhan. Namun, juga berpotensi tidak bisa selalu bersama Tuhan, ketika manusia itu masih membawa dirinya sendiri, karena Tuhan tidak pernah mau menerima diluar unsurNya sendiri. 


Hakikat awal manusia adalah mengenal Tuhan , namun ketika didunia manusia menjadi makhluk yang lupa kepada Tuhan dan tidak kenal lagi Tuhan. Sekalipun manusia berada dalam ketaatan agama, selalu berada dalam ketaatan dan kepatuhan yang begitu tinggi terhadap syariat, maka selama manusia belum mengenal Tuhan sebagai wujud, maka manusia itu sejatinya lupa kepada Tuhan dan melupakan Tuhan. Sedangkan manusia yang mengenal Tuhan, maka dia akan jinak, tidak mungkin jinak jika belum mengenal, dia akan menjadi makhluk yang liar dan jauh dari Tuhan jika belum mengenal Tuhan. Artinya, sekalipun manusia merasa dirinya dekat kepada Tuhan dan menjalankan semua perintah-perintah Tuhan sebagaimana yang termaktub dalam syariat dan segala ritualnya, maka manusia itu liar dan jauh dari Tuhan, tidak pernah jinak kepada Tuhan. Karena sempurna syariat itu adalah dengan mengenal Tuhan, dan tujuan akhir daripada syariat adalah untuk mengenal Tuhan, sehingga dia harus berada menapaki syariat berkelanjutan yaitu beranjak kepada tarekat, menuju hakikat dan kemudian makrifat, di tingkatan makrifat inilah hakikat daripada syariat itu akan diketahui secara pasti dan penuh.


Definisi Manusia 

Para filosof menyebut manusia sebagai hewan rasional (animal rasional) dan makhluk sosial (zoon politicon).Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolic, dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. beberapa ahli juga menilai manusia adalah homo faber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat menjadi gila terhadap kerja. Manusia juga mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan mahluk alami, ia memerlukan alam untuk hidup, dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing, bahkan melawan alam dan menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya sebagai manusia. Manusia disebut juga sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusia juga disebut sebagai homo faber dikarenakan manusia adalah tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain menyebut manusia sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun, happy dan selebrasi. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Dulu, dalam sejarahnya permainan – permainan yang diciptakan manusia juga digunakan untuk memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritual suci seperti di bukit Olympus. 


Namun, diantara semua sebutan dan pengertian – pengertian tentang manusia ini, manusi tidak akan ada artinya jika tidak mengenal Tuhan, karena sehebat-sehebatnya rasionalitas manusia, dia pasti akan terbatas dan baharu, sedangkan Tuhan itu unlimited dan abadi, sekeras- kerasnya manusia mengejar pengetahuan, puncak tertinggi pengetahuan itu adalah Tuhan, maka ketika manusia kenal Tuhan, maka itu adalah pengetahuan tertinggi, karena Tuhan itulah sebenarnya pengetahuan. Secanggih – canggihnya akal manusia, dia pasti akan mentok dan kemudian merenung bahwa ada yang lebih tinggi dari ini semua yaitu Tuhan. Kenal Tuhan adalah awal pengetahuan. Ketika manusia terlebih dahulu mengenal Tuhan, maka segala pengetahuan yang akan lahir kemudian pasti akan sangat dahsyat dan spektakuler. 


Mengapa manusia harus mengenal Tuhan terlebih dahulu ?.

Karena sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, dari situ kemudian menjadi perenungan tentang segala kegelisahan dirinya, mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu?. Pertanyaan manusia tentang hakikat dirinya merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan pernah final dijawab manusia dikarenakan realitas di sekeling manusia selalu baru, sampai manusia itu benar – benar mengenal Tuhan sebagai sebenar -benarnya Tuhan, maka semua pertanyaan itu terjawab, karena manusia telah berjumpa dengan realitas tertinggi, yang mutlak dan absolut. Siapa dirinya dan bagaimana hakikat hidupnya sudah dia dengar lansung dari Tuhan secara pasti, tidak lagi dari kitab suci agama maupun dari segala ilmu pengetahuan manusia yang sangat – sangat nisbi. Kebenaran yang didapat manusia dari ilmu pengetahuan dan dari filsafat itu hanya lah persepsi, hanya persepsi tentang kebenaran, bukan kebenaran mutlak itu sendiri. Karena kebenaran mutlak itu adalah Tuhan, maka manusia harus terlebih dahulu mengenal Tuhan, baru berpengetahuan dan pengetahuan serta filsafatpun harus menuju kesana, jika tidak ingin mati dan menjadi fosil dan artefak.


Manusia yang baik adalah manusia yang berkarya, karena yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah karya. Manusia yang berada dijalan Tuhan adalah insan yang berkarya, sedangkan manusia yang berada bukan dijalan Tuhan (Jalan argumentasi/fikih) yang ditafsirkan manusia dia tidak berkarya, tetapi meruntuhkan segala karya Tuhan yang telah ada, yaitu menghancurkan segala kehidupan manusia, yaitu melalaikan manusia dengan argumentasi, dan memaksa manusia untuk mengikuti jalan argumentasi sebagai jalan keselamatan, padahal sama sekali tidak ada keselamatan dijalan ini. Manusia yang berilmu, manusia yang bijak dan manusia teladan adalah manusia yang selalu dekat dengan penciptanya dan selalu menceritakan tentang penciptanya dari  pada tentang ciptaan manusia itu sendiri. Disini, pada hakikatnya semuanya adalah hablumminallah, tidak ada hablumminannas, karena semua relasi manusia akan bermakna dan berarti ketika terkoneksi dengan Tuhan, jika semua relasi manusia tidak terkoneksi dengan Tuhan, maka itu adalah kesia-siaan, manusia akan selalu berada dalam kerugian-kerugian. Artinya, tidak ada konsep pemisahan seperti itu, segala hubungan antar manusia itu adalah dalam lingkup hablumminallah, inilah yang disebut dengan persaudaraan sejati, semua hubungan antar manusia merupakan pengejawantahan hubungan dengan Allah. 


Manusia itu unik, jika dia baik maka dia akan melebihi malaikat, sedangakan jika dia buruk dan tidak baik, maka dia lebih rendah bahkan dari binatang ternak, hebatnya manusia, dia berpotensi menjadi malaikat, bahkan melampaui malaikat. Manusia akan tercerahkan ketika dia menjadi mahkluk spiritual dan tidak akan pernah tercerahkan ketika dia hanya menjadi makhluk ritual. Ketika manusia memilih jalan pencerahan yaitu melalui jalan makhluk spiritual maka ada tiga alam yang bisa dilalui manusia yaitu alam jabarut (makhluk), alam malakut (malaikat) dan alam Rabbani (Alam Tuhan), semua ini ada dalam praktek dan kurikulum para Sufi, dan yang paling murni dan bisa membuktikan ini adalah sufi yang ber Mursyid kepada seorang yang berpangkat Wali Qutub. 


Karena Mursyid Wali Qutub bisa membimbing akal sekaligus ruhani manusia dijalan spiritual. Ketika berpadu antara akal dan ruhani, maka Islamnya adalah Islam zahir dan batin, karena Allah itu juga zahiru wabatinu (zahir batin). Fisik dan ruhnya juga berislam. Insan – insan yang berada di level ini, tidak akan bicara lagi tentang pendangkaan aqidah, tentang sesat dan tidak sesat, karena levelnya sudah bersama Tuhan dan berada disisi Tuhan, sehingga hanya fokus kepada Tuhan sebagai sebuah kebenaran mutlak. Ketika berada disisi Tuhan, manusia ini tentu bisa menyelesaikan segala persoalan – persoalan dan tantangan – tantangan dunia seperti kezaliman, ketidak adilan, penindasan, semua akan bisa diselesaikan dengan energi dan power ke Tuhanan. Tuhan adalah unlimited power, sebuah power yang tidak terhingga, rumusnya adalah apapun jika dikalikan dengan faktor tidak terhingga maka hasilnya adalah nol (0). Tentu ada jalan, media dan cara mengakses power unlimited ini yaitu melalui jalan tarekat yang dibimbing oleh seorang Mursyid yang punya otoritas spiritual. Otoritas spiritual ini bukanlah pemberian, tetapi sebuah warisan dari Allah, Rasulullah dan dilanjutkan oleh para ahli silsilah, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan kuasa manusia, karena segala kuasa manusia tidak akan bisa menghalangi dan melawan otoritas spiritual ini, karena tidak mungkin manusia mampu melawan Tuhan, yang paling mungkin dan yang paling baik dan yang paling selamat bagi manusia adalah mengikuti dan patuh terhadap yang punya otoritas spiritual ini, karena diluar ini tidak ada jalan keselamatan bagi manusia. 


Jika hanya bertahan dijalan syariat dan jika bermursyid kepada yang tidak berpangkat Wali Qutub, maka yang hanya bisa dibimbing adalah akal, itupun akalnya pasti akan kacau, amburadul dan penuh fallacy, jangan tanya ruhaninya, karena ruhaninya pasti akan centang prenang. Jika beragama dengan model seperti ini, maka Islamnya hanyalah Islam zahir saja, tidak batin, hanya berislam fisik saja, sedangkan ruhnya belum berislam, ruhnya masih muallaf. Manusia yang berada dilevel ini pasti akan selalu bicara tentang pendangkalan aqidah, karena aqidahnya memang sangat dangkal, tidak pernah tahu dan merasakan aqidah yang dalam itu seperti apa dan akan selalu bicara tentang sesat dan tidak sesat dan selalu gelisah, khawatir secara sangat berlebihan jika melihat umat Islam nampak tidak patuh terhadap agama, padahal itu adalah gambaran kehawatiran dirinya sendiri yang selalu berada dalam kegelisahan tanpa pernah mendapat jawaban pasti apakah dia akan selamat atau tidak.


Akhirnya, tujuan akhir manusia dalam menjalani kehidupannya adalah perjumpaan kembali dengan Penciptanya (Tuhan). Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut, kembali cahaya matahari kepada matahari. Perjumpaan manusia dengan Tuhan adalah dalam tahapan jiwa yang spiritual, karena jiwa spiritual itu sangat indah sehingga Tuhan akan memanggil kembali jiwa tersebut bersamaNya. Jiwa yang dimiliki oleh manusia merupakan jiwa yang terbatas akan kembali bersama jiwa yang mutlak dan tak terbatas. Proses bertemunya jiwa manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusia berusaha membersihkan dirinya dari sifat yang buruk dan kotor, baru kemudian cahaya Tuhan bisa bertempat  dalam diri manusia. 


Namun, manusia tidak pernah punya kemampuan untuk membersihkan keburukan dan kekotoran dirinya ini, karena manusia sangat terbatas. Yang mampu membersihkan segala keburukan dan kekotoran hati manusia adalah seorang Guru Mursyid yang Kamil Mukamil, karena itu manusia harus bertemu dan mendapatkan bimbingan seorang Guru Mursyid  yang Kamil Mukamil agar segala keburukan dirinya bisa hilang, baru kemudian Nur Allah akan bersemayam dalam diri manusia itu, karena Allah hanya mau menerima unsurNya sendiri dan tidak pernah mau menerima unsur yang lain. Imam Ghazali berkata ; “ sekalipun engkau seorang ahli fikih yang tiada tandingannya, maka engkau tetap harus Berguru keapda seorang Mursyid, karena manusia tidak punya kemampuan untuk melihat segala kekotoran hatinya, hanya seorang Mursyid yang mampu melihat kekotoran hatimu dan menghilangkannya”.


Perjumpaan jiwa antara manusia dengan Tuhan tersebut dapat dilihat pada jalan para sufi. Disini, dijalan Sufi ini manusia mendaki tangga mi’raj menuju jiwa Tuhan dengan cinta. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, maka manusia akan memahami cinta pada Pencipta itu yang kemudian cinta itu dimanifestasikan kepada sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain, menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dimuka bumi. Citra Tuhan dalam diri manusia akan menjadikan dia sebagai insan kamil dan dari jalan inilah manusia dapat menjadi rahmatan lil’alamin, menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia maupun alam.

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :