“Bagaikan apel dipelupuk mata” : Al Ghazali, dari Filosof menjadi Sufi

Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, M.A

Al Ghazali adalah filosof pengkritik  keras Neoplatonisme didunia muslim, dia adalah juga seorang intelek dan pengajar yang sangat luas wawasannya, sehingga menjadi intelektual dan filosof yang tersohor sehingga di juluki : “bagaikan apel di pelupuk mata”. Philip K Hitti, seorang orientalis, menyebut Al-Ghazali sebagai pemikir Muslim paling agung dan orsinil dalam sejerah intelektual Islam. Dia juga disebut sebagai penyempurna paham Al-Asy’ari yang kemudian menjadi ajaran Sunni hingga saat ini.

Pada usia 33 tahun al-Ghazali menjadi selebritis di Baghdad, dengan gelar profesor fiqh. Empat tahun menyandang guru besar dan menjadi selebritis, mengantarkan kehidupan yang tidak menyenangkan. Ada gejolak batin dalam pergulatan kehidupan yang di alami. Sejak masa mudanya, Al Ghazali selalu mencari kebenaran dengan mendalami studi filsafat, kalam serta doktrin-doktrin esoteris lainnya seperti doktrin kaum Isma’iliyah (bathiniyah), namun, kesemuanya itu tidak bisa memuaskan segala dahaganya akan kebenaran sejati, dengan itu semua Al Ghazali tidak menemukan kebenaran sejati.
Sumber : Google
al-Ghazali mengalami kegoncangan bathin setelah ‘dipermalukan’ oleh sang adik, Ahmad al-Ghazali, ketika dirinya menjadi imam shalat. Sang adik tidak mau menjadi makmum. Al-Ghazali mengira sang adik sedang menganut aliran sesat. Peristiwa yang baru terjadi diceritakan al-Ghazali ke sang  ibu, lalu sang ibu mempertemukan antara Al-Ghazali dengan sang adiknya. Di luar dugaan al-Ghazali, jawaban sang adik sangat menyengat batinnya. Ahmad a—Ghazali, sang adik menjawab : “Bagaimana aku bisa bermakmum shalat dengan imam yang berlumur darah dan sedang mengingat perempuan,” jawab sang adik. Jawaban sang adik menyadarkan al-Ghazali bahwa sebelum shalat, dirinya baru saja selesai mengajar dan mengarang kitab fiqh, dalam bab nifash. Sehingga ingatannya terbawa dalam shalat. Al-Ghazali yakin ilmu sang adik melompati dirinya. Ketika itu, Al-Ghazali meminta berguru.

Al-Ghazali kemudian sadar bahwa apa-apa yang selama ini dilakukannya dengan status guru besar dan tokoh yang dihormati penguasa dan rakyat, hanyalah senda gurau saja, sesuatu yang tidak bisa mengantarkan dirinya dekat kepada Allah Swt. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya sebatas ilmu wacana, bukan ilmu yang mengantarkan dirinya dekat dan dicintai oleh Allah Swt. Al-Ghazali bertekad meninggalkan status selebritisnya demi kehidupan yang sejati. Dalam curahan bathin yang dia tulis dalam Munqidz min al-Dhalal, penyelamat dari kesesatan, selama enam bulan Al-Ghazali terombang-ambing antara mempertahankan dan keluar dari dunia yang mengantarkan dirinya sebagai tokoh intelektual yang dihormati menuju dunia Sufi. Selama pergulatan bathin itu, nafsu makan al-Ghazali tidak ada sama sekali. Ketika Al Ghazali memaksa dirinya untuk mengajar, mulutnya tidak bisa mengeluarkan kata-kata.

Setelah bertahun-tahun melakukan kajian yang mendalam dan merenung, sampailah dia pada semua kesimpulan yang kemudian merubah secara total seluruh kehidupannya, yang dituangkan dalam karyanya Al –Munqidh min al-Dhalal,  Penyelamat dari kesesatan:
para pengikut jalan sufi adalah orang-orang yang secara sungguh-sungguh menapaki jalan Tuhan. Perilaku mereka merupakan perilaku paling terpuji. Jalan hidup mereka adalah jalan yang paling lurus, dan sifat mereka merupakan sifat yan terbaik. Gerak dan diam mereka, baik lahir maupu batin, selalu berasal dari relung cahaya nubuwah (prophetic) atau yang diatas itu, yang tidak ada cahaya dimuka bumi ini yang lebih terang daripadanya”

Begitu gigihnya al-Ghazali berguru kepada guru Sufi, dia rela meninggalkan kebesaran dirinya sebagai orang kaya, terpelajar, terhormat, dengan  menjadi pekerja kasar yang bertugas menyapu dan membersihkan halaman sekaligus menyediakan kebutuhan para tamu di tempat barunya, ditempat gurunya. Al-Ghazali rela mengabdi demi ilmu sejati dan kebenaran sejati yang dicarinya. Al Ghazali berkata : “sia-sia selama ini hidupku, apa yang menurutku benar selama ini, ternyata adalah kesia-siaan, karena semuanya tidak bisa mengantarkanku kehadiran Allah Sw”.

Sebagai seorang intelektual yang dijuluki “hujjatul Islam”, al Ghazali kemudia menempuh jalan sufi dan mempunyai seorang Guru Mursyid, dalam hal berguru kepada Mursyid, al-Ghazali berkata : “sekalipun engkau seorang ahli fikih, yang tidak ada bandingannya dijaman mu, engkau tetap memerlukan seorang Musyid, karena engkau tidak akan pernah bisa melihat kekotoran hatimu sendiri”

Ketika banyak orang dizaman sekarang berdebat dan rebut satu sama lain tentang makna tauhid dan kebanyakan hanya tauhid-tauhi sebagai kajian saja, tanpa pernah bisa dipraktekkan, Al Ghazali berabad lalu telah menggambarkan bagaiman tauhid yang mencerahkan, bagi al Ghazali, Tauhid adalah meyakini bahwa Tuhan itu adalah Wujud, Pelaku dan Cahaya Tunggal di alam semesta ini. Wujud ini tidak bisa dikenali lewat pemikiran atau spekulasi rasional, sebagaimana sangkaan kaum filosof. Mengenali Wujud hanya mungkin apabila DIA membukakan Diri-Nya (Kasyf) bagi mereka yang bersedia melalui pencermatan yang terus menerus (musyahadah) dalam pancaran cahaya Ilahi".

Dalam konteks hari ini, lantas bagaimana manusia bisa bertauhid jika hanya dengan kajian-kajian ?,  jika tanpa makrifat kepada Allah dan selalu beserta Allah, sehingga Allah sendiri yang membukakan Diri-Nya bagi yang bersedia…







Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :