Tsunami dan Ingatan Aceh sebagai Donya
Oleh : Teuku Muhammad Jafar, MA
Ingatan yang paling baik
tentang Tsunami adalah, telah menghentikan perang puluhan tahun antar manusia
di Aceh, dia hadir persis ketika dipuncak penderitaannya, manusia masih saja
eggan dan tidak mau berhenti untuk saling membunuh. Tsunami datang untuk
menghentikan itu dengan caranya sendiri, diluar kuasa manusia, sehingga ada
yang harus terenggut dan terambil oleh gelobang besar ini, mereka yang
terenggut dan terambil oleh tsunami adalah orang-orang baik yang terhormat dan
bermartabat.
Manusia tidak kuasa melawan
alam, sehingga akhirnya harus menyerah dan menghentikan segala pertikaian. Alam
memberikan penanda penting bagi Aceh, bahwa manusia tidak perlu sombong dengan
menunjukkan kuasa bisa saling membunuh, bahkan dengan cara-cara yang paling
keji, alam pun bisa melakukan lebih dari itu, alam bisa merenggut kehidupan
melebihi kehidupan yang direnggut oleh manusia. Jika manusia saling merenggut
kehidupan selama puluhan tahun, maka alam melalui gelombang besarnya hanya
butuh sekejap saja untuk merenggut kehidupan secara massal. Kedahsyatan alam
akhirnya menyadarkan manusia, bahwa mereka hanyalah debu, kerdil dan kecil
dihadapan yang Maha Kuasa. Kita segera tersadar bahwa setelah tsunami, kita
adalah bangsa yang ditakdirkan berada di daerah titik bencana yang bisa datang
kapan saja, sehingga kewaspadaan kita belum berakhir, derita kita belum
berakhir sehingga harus terus mempersiapkan kapasitas pengetahuan, teknologi dan
spiritualitas kita untuk menghadapi segala bencana.
Sumber : Trubus.id |
Sebelum tsunami datang,
hari-hari di Aceh adalah derita, kecemasan dan kesuraman. Melewati hidup dalam
genggaman darurat militer, darurat sipil, seolah tidak tahu kapan akan berakhir
segala derita jiwa dan raga. Saat itu orang
Aceh harus menjalani hidup tanpa kedaulatan sebagai manusia, karena kedaulatan telah
beralih ke ujung senjata. Dititik ini, Aceh kemudian kembali di uji dengan hadirnya
kiamat didepan mata, air yang menjadi gelombang besar dan menerjang daratan
adalah kiamat dahsyat yang tidak akan mungkin bisa dilupakan begitu saja. Manusia
pada saat itu hanya bisa saling memikirkan nasibnya sendiri, tidak punya kuasa untuk
saling menolong yang lainnya secara sempurna. Saya sendiri lansung mengalami
bagaimana manusia saat itu benar-benar lemah dan hanya bisa berdoa bahwa ada
kehidupan baru setelah peristiwa ini. Akhirnya cahaya untuk Aceh itu
benar-benar hadir memadamkan segala kegelapan untuk hidup normal sebagai
manusia, tsunami memaksa kedua belah pihak yang bertikai untuk berdamai dan berakhirlah
perang besar.
Ingatan itu
Ketika tsunami terjadi, saya
berada di Lamteumen, Banda Aceh. Saya selamat dari tsunami setelah menaiki
sebuah mobil double cabin, saat itu mobi tersebut sedang berada dalam
pekarangan rumah sang pemilik, didalam itu, sanga pemilik mobil tersebut
berteriak “tidak boleh naik mobil ini”, ketika pintu gerbang dibuka dan
dia memundurkan mobilnya kejalan, sayapun berteriak “ayo naik”, akhirnya
semuapun berebutan naik, total kami di bak belakang itu berjumlah 25, kapasitas
yang tidak normal lagi, jangan tanya apa itu mungkin atau tidak. Sang pemilik
mobil tidak bisa lagi mencegah, karena diapun harus terus memacu mobilnya agar
terhindar dari terjangan air besar yang sedang bergerak menuju kearah kami.
Begitu mobil tersebut melaju
dengan kencang, hanya hitungan beberapa meter, gelombang airpun menghantam kami,
mobil kami segera terangkat keatas, air lansung meninggi, saat mobil setengah
mengapung, kami ternyata sudah berada dilantai dua atap sebuah rumah, artinya
air sudah setinggi lantai dua rumah, kami segera berpegangan pada kabel dan
naik keatas atap tersebut, mobil yang kami tumpangi tersebut perlahan tenggelam
dan satu keluarga pemilik mobil tersebut semuanya meninggal karena sekalipun
kaca bisa terbuka, namun air telah duluan masuk dan pintu tetap terkunci. Diatas
atap, kami tidak bisa menghitung lagi gempa-gempa yang terjadi, karena gempat
bukan lagi hitungan menit tapi sudah hitungan detik. Didepan kami hanya ada pemandangan
lautan, appaun dipandang adalah lautan air. tidak ada kehidupan.
Pulau sabang pun tidak nampak
seperti biasanya, saat itu saya berfikir bahwa pulau Sabang sudah tenggelam dan
menghantarkan airnya kedaratan, saya pasrah dan ikhlas seandainya Sabang sudah
tenggelam. Silaturahmi dalam kesedihan
terjadi diatap rumah tersebut, disitu saya berjumpa dengan orang yang terdampar
dari segala penjuru dengan kondisi yang sangat mengenaskan, antara hidup dan
mati, ada yang pergelangan tangannya hampir putus akibat terkena seng dan
kemudian meninggal dihadapan saya, ada lelaki yang hanay mengenakan celana
dalam dengan luka sdisekujur tubuhnya, dan dia meminta tolong, namun kami tidak
tahu apa yang harus ditolong. Saat itu seorang perempuan muda yang juga
terdampar diatap rumah tersebut dan tidak terluka berteriak histeris : “tidak ada gunanya lagi saya hidup, saya sudah tidak punya siapa-siapa
lagi, saya sudah tidak punya apa-apa lagi”, setelah itu dia lansung melemparkan sebuah HP
yang bisa di selamatkannya kelautan air, saat itu saya hanya berkata singkat : “kamu masih hidup, itu yang kamu punya”, saat
itu tidak mungkin memberikan tausiyah ataupun motivasi kepadanya karena saya
sendiripun berada dalam posisi antara hidup dan mati.
Setelah sekian lama berada
diatas atap, airpun perlahan-lahan surut, saya bersama beberapa orang teman,
termasuk calon istri saya (sekarang istri saya), turun dari rumah, saat itu air
sudah surut dan tinggal setinggi lutut, kami berjalan menuju jalan raya, tujuan
kami satu, ketempat yang lebih tinggi dan itu adalah Mata Ie, saat itu kami
berfikir, kalau air laut naik lagi, dan air itu sampai ke Mata Ie maka
selesailah semua kehidupan. Setelah turun dari rumah dan menjejakkan kaki
ditanah, saya segera menginjak mayat, begitu juga ketika melangkahkan kaki
berikutnya, saya juga menginjak mayat, artinya, ada banyak mayat terbenam
diair, akhirnya saya berkata “maafkan
saya ya”, setiap saya menginjak
mayat. kami pun terus berjalan menuju simpang dodik, simpang empat.
Ketika sampai di Simpang Dodik,
saat itulah saya melihat pemandangan paling dramatis dalam hidup saya dan saya
brdoa untuk tidak mengalami lagi pemnadnagan itu seumur hidup saya. Disepanjang
pinggi jalan, disetiap trotoar manusia-manusia yang sekarat, berteriak minta
tolong, namun kita tidak tahu membantu dengan apa, karena yang sangat
dibutuhkan pada saat itu adalah medis, banyak saya jumpai mereka berteriak
minta tolong, tetapi sejurus kemudian meninggal, tanpa ada pertolongan sama
sekali. Yang paling menyakitkan kami adalah ketika kami sudah berada di trotoar
jalan yang tidak terjamah air dan air sudah benar-benar surut, tiba-tiba
terdengar teriakan “air laut naik lagi,
air laut naik lagi,…, sehinga semuapun berhamburan, dan kami memilih lari
menuju Mata Ie, berlari dan menumpang mobil siapa saja yang menuju Mata Ie,
saking paniknya bahkan ada warga yang sebenarnya ingin berlari mejauh dari
laut, tetapi dia justru berlari kearah laut. Keesokan harinya kami tahu bahwa,
teriakan tadi dilakukan oleh orang-orang yang ingin menjarah dengan leluasa apapun
yang tersisa di bangunan ruko, maupun rumah, baik emas, uang dan lainnya,
begitulah, dalam musibah pun masih ada manusia-manusia yang akalnya tidak
dipakai untuk menolong, tetapi dipakai untuk menjarah.
Setelah bermalam dimata Ie,
keesokan harinya kami bermalam di Berurawe, dan hari ketiga tsunami, kami
memutuskan menuju bandara Blang Bintang untuk terbang ke Medan, karena saat itu
sudah massif sekali kabar bahwa akan terjadi wabah penyakit yang besar dan
sangat berbahaya di Banda Aceh akibat jenazah-jenazah yang belum dikuburkan. Kami
memutuskan berjalan kaki dari Beurawee menuju bandara Sultan Iskandar Muda,
jika ada ada tumpangan mobil dijalan maka kami akan menumpang mobil, akhirnya
kami sampai di bandara. Dibandara kami menunggu pesawat yang bisa menerbagkan
kami ke Medan, dan pesawat itu adalah Hercules, setelah dua hari bermalam di
bandara, keesokan harinya kami nekad menerobos masuk ke pesawat karena saat itu
tidak diiznkan oleh petugas, karena pesawat disiapkan untuk orang-orang
tertentu yang sudah diatur petugas, beberapa petugas mengacungkan tinju kearah
kami jika kami berani menerobos barikade yang mereka buat, saat itu kami sudah
nekad, berkelahipun boleh, asal bisa naik ke pesawat Hercules. Akhirnya barikade
itupun tembus dan petugas tidak bisa berbuat banyak, akhirnya kami sampai
kedalam Hercules dan itu adalah pengalaman seumur hidup naik Hercules dengan
melantai persis seperti ayam potong yang dibawa dengan pesawat.
Ingatan sebagai Gampong Donya
Segala ketertutupan dan
keterisolasian Aceh akibat konflik segera terbuka paska tsunami. Bencana tsunami
Aceh bukanlah bencana daerah, apalagi bencana nasional, tapi bencana dunia
sehingga berbagai negara, berbagai agama, berbagai suku bangsa masuk ke Aceh
dan memberikan bantuan untuk Aceh. Saat itu, derita Aceh tidak mungkin bisa
dibantu oleh orang Aceh sendiri, tetapi harus dibantu oleh orang lain dan
orang-orang tersebut adalah orang “ban sigom donya”. Derita Aceh
segera dirasakan oleh orang-orang donya, bahwa ada persoalan kemanusiaan serius
di Aceh yang harus dibantu, murni persoalan kemanusiaan, saat itu Aceh menerima
semua kebaikan masyarakat donya tersebut. Anak-anak Kristen, anak-anak Budha,
anak-anak Kong Huchu dan berbagai agama lainya menyisihkan uang jajan mereka
untuk membantu teman-teman seusia mereka yang sekarang ada di Aceh. Saat itu
Aceh yang terisolir segera menjadi “gampong donya” atau sering dsiebut
dengan “gampong global”, beragam manusia tumpah ruah ke Aceh. Momen
ini sebenanrya adalah momen penting bagi Aceh untuk mempersiapkan diri menjadi
bagian dari donya dengan sebenarnya, bukan kamuflase. Saat itu kita tahu
bagaimana berhubungan dengan manusia yang tidak lagi kita lihat sebagai agama,
suka, ras, warna kulit tetapi murni sebagai manusia yang baik dan berbuat
kebaikan di Aceh. Sekarang, spirit itu semakin luntur seiring perjalanan waktu.
Sumber : Google |
Salah satu mental sebagai
donya itu adalah tahu berterima kasih dan bangsa Aceh sudah melakukan itu dengan
membuat Monumen “Thanks To The World” di lapangan Blang Padang. Monumen ini adalah simbol dari rasa syukur rakyat Aceh kepada negara,
lembaga-lembaga tinggi negara, relawan, LSM, perusahaan, sipil, dan militer
baik nasional maupun internasional yang telah berpartisipasi dalam pembangunan
Aceh setelah bencana Tsunami . Selain monumen, rakyat
Aceh juga membuat prasasti ucapan terima kasih kepada 53 negara yang telah memberikan kontribusi untuk
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh melalui prasasti persahabatan. Prasasti
tersebut diletakkan disepanjang joggingtrack yang mengelilingi lapangan Blang
Padang sepanjang 1 kilometer, plakat tersebut bertuliskan “Thanks You And Peace” dalam berbagai bahasa dunia. Plakat yang berbentuk kapal yang hampir
tenggelam dan pada plakat tersebut tertulis nama negara, bendera negara, dan
rasa syukur ekspresi ‘Terimakasih dan Damai’ dalam bahasa
masing-masing negara.
Sumber : Google |
Selain mental berterima
kasih, Aceh seperti tidak punya mental donya yang lain. Setelah 15 tahun
tsunami, spirit menjadi seperti donya tidak ada lagi. Setelah sekian belas
tahun, kita ternyata semakin terisolasi dengan berbasis pada agama, sehingga
kembali mengaburkan spirit sebagai donya. kini, setelah 15 tahun
tsunami, ingatan sebagai gampong donya itu kembali hadir karena Aceh sudah
semakin jauh untuk menjadi donya dan cenderung mengekslusifkan diri sebagai
Bangsa berbasis agama, bukan bangsa berbasis donya. Segala kehidupan, segala
kemajuan diukur berdasarkan nalar agama, bukan nalar donya, sehingga kita tidak
tahu mencantolkan dan menempatkan dimana segala kemajuan yang ingin dicapai.
Semoga Aceh segera
menjadi donya kembali !!!