Men “Sufi” kan Nietzsche (Selamat Ulang Tahun Sang Peziarah)
Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman
Oktober
adalah bulan penting bagi dunia pemikiran,
bulan ini adalah bulan kelahiran ledakan dan kegilaan dunia. Dentuman
besar ledakan dunia ini diwakili oleh dua pemikir besar yaitu Friedrich Wilhelm Nietzsche dan Michele
Foucault, kedua filsuf ini lahir bersamaan pada 15 Oktober di tahun yang
berbeda. Nietzsche lahir pada 15 oktober 1844, Foucault lahir pada 15 Oktober
1926. (- untuk Foucault akan saya tulis pada tulisan lainnya-). Nietzsche,
menakdirkan diri sebagai dinamit, untuk meledakkan manusia dan meresahkan
manusia, “…Ich bin kein Mensch, ich bin Dynamit,” “Aku bukanlah manusia, tapi
aku adalah dinamit, membuat manusia resah adalah tugasku”.
![]() |
Sumber : Google |
Filsafat Nietzsche adalah aforisme – aforisme,
filsafatnya adalah kemendalaman, bukan permukaan. Aforisme Nietzsche adalah
aforisme “isi” karena dia adalah pelahap yang sangat rakus segala manuskrip –
manuskrip kuno, dia adalah filolog sebelum bersabda dalam “Also Sprach
Zaratustra” (dan bersabdalah Zarathustra)dan “Der Wille zur Mach” (Kehendak
untuk berkuasa)
Nietzsche
adalah tersangka pembunuh sadis, sekaligus nihilis abadi. Dia didakwa membunuh
Tuhan dan menyatakan dengan tegas bahwa Tuhan sudah mati, dia tidak percaya pada yang namanya capaian,
manusia tidak mencapai apa-apa, kecuali nihil, jika manusia hanya menerima dan
tidak menggugat. Bagi Nietzsche, manusia yang hidup dan menjalani kehidupannya
berdasarkan moral yang kesepakatan-kesepakatan moral umum adalah manusia yang
sangat lemah, untuk menjadi kuat, maka jadilah manusia yang melampaui, yang
punya etika sendiri yaitu “etika melampaui” (Beyond Ethic).
Filsuf
yang ajarannya diambil oleh Nazisme Hitler ini digugat oleh manusia sebagai Atheis.
Tapi tahukan kita, bahwa Nietzsche adalah seorang peziarah sejati, peziarah
sejati adalah nyawanya para Sufi. Dengan gaya Ascenden, Nietzshe mengajak kita
untuk terus mengenal diri, mengenal diri ini adalah syarat utama untuk menjadi
manusia seutuhnya, dalam dunia sufi, terkenal kalimat :
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ
رَبَّه
“Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya”
“Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya”
apakah Nietzsche mengambil spirit ini dari
ajaran Sufisme ?”.
Niezsche terus mengajarkan untuk berdisiplin
terhadap diri manusia sendiri, menaklukkan diri sendiri, mampu untuk melampaui
diri manusia, untuk selalu menuju ketinggian yang lebih tinggi, dari standar
atau dari yang dipatokkan dalam hidup manusia, dalam makna ini, filsafat
Nietzsche sejatinya selalu mengajak kita untuk selalu berziarah, agar tidak
diam ditempat dan menjalani hidup hanya berdasarkan kepercayaan-kepercayan
warisan, atau ajaran-ajaran suci yang dianggap sudah mapan. Jadilah manusia
yang selalu mencari, terus mencari dan tidak menerima tanpa mencari, sebagaiman
aforisme Nietzsceh “jika engkau haus akan
kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah, jika engkau ingin menjadi
murid kebenaran, maka carilah”.
Nietzsche
adalah sosok yang mengajak manusia untuk menggugat diri secara habis-habisan
agar sampai pada inti diri manusia yang diharapakn. Filsuf anarkhis ini juga
selalu mengajak untuk melihat lebih jauh dan lebih dalam, inti ajakan Nietzsche
ini dalam konteks saat ini sesungguhnya
adalah tools iman dan kepercayaan.
![]() |
Sumber : Google |
Iman,
dalam makna disebalik makna bukanlah percaya, tetapi ziarah aagr manusia
percaya. Ziarah itu tidak pernah berhenti, ziarah adalah transformasi diri
manusia. Memang berfilsafat dengan cara Nietzsche itu sangat melelahkan,
karena, sebagai manusia kita ditantang untuk terus mencari dan memperbarui
diri, ini sesungguhnya adalah rutinitas hidup yang berat, namun inilah inti untuk
menjadi manusia, karena jika tidak, maka manusia akan “membinatangi” manusia
sendiri. Ini adalah bicara tentang menjadi manusia dan tentang memahami
kehidupan, mau apa ?
Filsuf
yang banyak melahirkan filsafat dari kesakitan dan penderitaan ini megajak kita untuk selalu memasuki
lorong-lorong waktu yang tidak kita kenal dan itu ada. Bahkan ketika sudah
sampai ketujuan, namun tujuan itu masih bukan tujuan absolut, maka hempaskanlah
diri lagi dan memulai peziaraha lagi. Seperti yang dijalani para sufi, ziarah
itu sangatlah indah, karena ziarah itu menjatuhkan kita dalam dekapan dan
pelukan segala ketak terbatasan yang tak bisa terbatasi oleh apapun.
Nietzsche
menggambarkan peziarahan itu dengan indah :
“menuju lautan-lautan baru
Ke sana – pergi menuju ke sana
itulah yang kukehendaki
Pada diriku sendirilah kupercaya,
pada tanganku sendiri
Terbuka, lautan membuka diri,
dalam biru
Meluncur, kapalku dari Genoa
mengasingkan dirinya
Meluncur
Bagiku, segalanya berpendar dengan
kilatan baru
Sang tengah hari berjaga-jaga
dalam ruang dan waktu
Hanya mataMu – secara mengerikan
Meghunjam diriku, oh
ketakterbatasan!”
Dalam
kaca mata umum, Nietzsche adalah atheis, namun dari ungkapan-ungkapan tentang
peziarahan diatas, terasa tersimpan spirit theistis dari seorang Nietzsche,
yang sebenarnya di idam-idamkan bagi siapapun orang-orang yang beriman, karena
setiap manusia adalah peziarah. Atheisme Nietzsche bukanlah semata-mata atheism
yang anti Tuhan, melainkan satu kritik tajam dan radikal untuk membantu manusia
memurnikan hidup kereligiusannya, supaya tidak mapan dalam sebuah institusi religius
yang hanya bersandar pada tampilan luar permukaan melainkan pada hakikan
kedalaman. Ini tidak bisa didapat oleh manusia hanya dengan menerima tanpa
mencari, tanpa berziarah, menjadi manusia sejati adalah berani berziarah untuk
menggugat kemapanan agama yang sebenarnya tidak punya otoritas spiritual.
Membaca
Nietzsche, maka kita harus berani membaca kata dibalik kata, bukan kata demi
kata, membuka topeng dibalik topeng. Menziarahi Nietzsche maka tidak boleh
berhenti pada kesan dan penanda atheism, tetapi berani merobek topeng atheism dan
mencari topeng sebenarnya di balik topeng itu. Dengan demikian, kita akan
menemukan, kalimat-kalimatnya yang anti religius justru kita menemukan inti
kereligiusan, yang tidak akita dapat dari bahasa tetapi dari balik topeng yang
tersibak, apa yang dilakukan Nietzsche ini adalah spiritualitas ejati para
Sufi.
Tuhan
yang dibunuh Nietzsche bukanlah Tuhan yang sebenarnya yang ingin dia jumpai
dalam keabadian. Tuhan yang dibunuh Nietzsche adalah Tuhan para agamawan, Tuhan
yang didefiniskan oleh agamawan, bukan Tuhan nubuat tetapi Tuhan relasi kuasa antara
agamawan dan kekuasaan.
Tuhan
yang sebenarnya tetap ada, Tuhan yang tidak ada tetapi di “ada” kan itu adalah
Tuhan yang didefinisikan oleh para agamawan, tanpa pernah di ziarahi dan tanpa
pernah bisa dijumpai.
Selamat Ulang tahun sang peziarah, selamat
ulang tahun dinamit !!!